Sebuah selang infus terpasang rapi di punggung tangan kiri (Namakamu). Sejak semalam setelah (Namakamu) menangis hebat lagi di pelukan Aldi, gadis itu demam tinggi dan tidak terbangun dari tidurnya. Kedua orang tua (Namakamu) yang khawatir pun memilih untuk menemani Aldi yang menjaga (Namakamu). Mereka ingin membawa (Namakamu) untuk di rawat di rumah sakit. Namun Aldi melarang karena pasti (Namakamu) akan sangat marah.
Gadis itu benci bau obat atau rumah sakit.
Dan malam ini, Aldi memasuki kamar (Namakamu) seraya membawa sebaskom air dan tidak lupa sapu tangan untuk mengompres (Namakamu). Aldi menarik kursi kosong yang sejak kemarin malam ia gunakan untuk menjaga (Namakamu). Dengan telaten, ia mulai memeras sapu tangan tersebut dan meletakkannya di atas dahi sepupunya itu. Demamnya masih belum turun. Perkiraan dokter, besok pagi nanti demamnya baru akan turun. Tapi jika tidak, maka ia harus segera membawa (Namakamu) untuk di rawat di rumah sakit agar mendapatkan perawatan lebih intensif.
Aldi menghela nafas. "Cepet sembuh, (Nam...). Biar ada yang gue jagain di sekolah." Ucapnya seraya mengusap punggung tangan (Namakamu) yang terbalut infus.
(Namakamu) memang hanya sepupunya. Namun Aldi selalu menganggap bahwa gadis yang seumuran dengannya itu adalah saudara kandungnya, adik perempuan yang harus selalu ia jaga di manapun dan kapanpun. Aldi sangat menyayangi sepupunya ini.
"(Nam...)..." Gumam Aldi saat melihat (Namakamu) membuka matanya sedikit.
"Aldi... Iqbaal mana? Gue kangen sama dia. Hiks.. Iqbaal pergi, Al~" lirih (Namakamu) dengan air mata yang baru saja mengalir dari sudut matanya.
Dua kali lipat rasa sakit Aldi rasanya melihat (Namakamu) seperti ini. Sejak kemarin malam, gadis itu terus menggumamkan nama Iqbaal atau selalu bertanya di mana Iqbaal. Aldi bingung harus berbuat apa. Seberapa besar sebenarnya sepupunya ini mencintai pria pecundang seperti Iqbaal?
Dengan lembut, Aldi mengusap kepala (Namakamu). "Habis ini gue panggilin Iqbaal, ya. Iqbaal bakal ke sini, kok." Ucapnya lembut.
"Gue nggak pengen dia pergi, Aldi. Kenapa gue harus bilang gitu ke Iqbaal?" (Namakamu) terus meracau, seolah gadis itu sedang mengungkapkan isi hatinya saat ini.
"Iqbaal nggak bakal pergi ke mana-mana. Habis ini Iqbaal ke sini, ya.".
Aldi menghela nafas panjang. Ia segera meraih ponselnya dan mencari kontak Iqbaal. Lebih baik ia benar-benar mendatangkan pria itu. Setidaknya sampai (Namakamu) benar-benar tenang. Pasti gadis itu tertekan.
🍃🍃🍃
Iqbaal memasuki kamarnya dan tidak lupa menutup pintu kamarnya. Bunda dan ayahnya baru saja mengajaknya untuk membicarakan (Namakamu). Katanya gadis iti sedang sakit. Bahkan gadis itu sampai harus menggunakan selang infus.
Yang Iqbaal tahu, (Namakamu) benci bau obat apalagi rumah sakit. Mungkin itu salah satu alasan mengapa (Namakamu) di rawat di rumah saja.
Jujur, Iqbaal merindukan gadis itu. Jika boleh berandai-andai, Iqbaal ingin kembali ke masa lalu, masa di mana ia baru saja sadar bahwa ia memiliki perasaan lebihbkepada sahabatnya itu. Ia ingin langsung menyatakannya. Setidaknya jika ia melakukan itu sejka dulu, kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi.
Seharusnya ia yang menjadi sandaran (Namakamu), bukan malah Devano.
Tapi ia salut pada Devano. Setidaknya pria itu tidak sepengecut dirinya yang belum mencoba namun sudah takut gagal. Ia bersyukur, masih ada orang yang peduli pada (Namakamu).
Drt.. drt..
Ponsel yang Iqbaal charger tiba-tiba bergetar. Dengan segera, Iqbaal meriah ponselnya dan langsung mengangkat panggilan tersebut saat melihat nama Aldi yang tertera menjadi nama pemanggil.
"Halo, Al. Kenapa?"
'....'
"Iya. Gue bakal langsung ke sana."
Pip.
Iqbaal segera mengantongi ponselnya dan keluar dari kamarnya. Kedua kakinya menuruni anak tangga dengan cepat, membuat perhatian kedua orang tuanya yang sedang asyik menonton tv teralih.
"Mau ke mana, Le?" Tanya Rike seraya menatap Iqbaal yang tampak buru-buru.
"Iqbaal ijin mau ke rumah (Namakamu), bun, yah. Iqbaal mau jagain (Namakamu). Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
🍃🍃🍃
Iqbaal menggenggam tangan (Namakamu) seraya sesekali mencium punggung tangan gadis itu. Sejak tadi, Iqbaal terus menyanyikan lagu untuk (Namakamu). Gadis itu terus mengigaukan namanya kata Aldi. Jadi ia memutuskan untuk bernyanyi agar (Namakamu) mengetahui bahwa ia berada di dekat gadis itu.
"Karna.. semesta ku ada pada kamu.."
Iqbaal menghentikan nyanyiannya. Ia mengusap puncak kepala (Namakamu). Setelah itu, manik matanya mengedar memandang isi kamar gadis itu. Pigura serta boneka-boneka yang pernah Iqbaal berikan kepada (Namakamu) tidak terlihat. Kemudian matanya melihat ke arah sebuah meja berisikan pigura yang sudah di tengkurapkan.
Ia menghela nafas. Ia sudah sangat mengecewakan sahabatnya ini. Bahkan di saat ia memiliki kesempatan kedua pun, ia malah menyia-nyiakannya begitu saja.
"Gue salah. Maaf." Ucap Iqbaal tiba-tiba.
Pria itu menunduk, kemudian menatap wajah (Namakamu) yang masih terlihat pucat. "Seharusnya gue juga jujur semuanya waktu lo ngungkapin gimana perasaan lo ke gue. Harusnya gue nggak diem." Ucap Iqbaal seraya menggengam erat tangan (Namakamu).
"Andai lo tau... gue juga sayang sama lo... lebih dari sahabat. Andai lo denger omongan gue sekarang, tapi itu mustahil. Gue udah nggak punya kesempatan lagi, kan? Kalo gitu mulai sekarang biar gue yang mulai semuanya. Biar gue yang ngerasain gimana sakitnya merjuangin lo. Biar gue yang rasain semuanya. Tapi tolong jangan pernah pergi dari hidup gue, karena gue nggak mampu, gue nggak bisa tanpa lo."
Iqbaal menghela nafas. Pria itu menatap (Namakamu) sejenak, kemudian beranjak mencium dahi (Namakamu) cukup lama.
Di sisi lain, Devano yang menatap pemandangan itu hanya mampu mengalihkan pandangan dan menyeringai kecil. Ia segera menutup pintu kamar (Namakamu) perlahan. Dadanya sesak dan tidak mungkin ia meneruskan melihat oemandangan tersebut.
"(Namakamu)... gue juga minta maaf." Gumam Devano lirih.
"Maaf gue udah lancang merjuangin dan cintain lo. Padahal gue sadar, gue bahkan nggak ada hal untuk sekedar berjuang doang. Sampe kapan pun, cinta gue bakal tetep bertepuk sebelah tangan."
Setelah itu, Devano kembali menuruni anak tangga tanpa menyadari bahwa Iqbaal mendengar gumamannya. Pria itu menghela nafas dan benar-benar keluar dari kamar (Namakamu).
"Apa gue harus mundur, aja, dan biarin Devano merjuangin lo? Dia lebih baik dari pada pecundang kayak gue." Iqbaaal menghela nafas. "Apa yang harus gue lakuin sekarang?"
Tbc.
Update jugaaa
Vote komennya tolong
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐈𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐊𝐄𝐂𝐈𝐋 𝐇𝐀𝐓𝐈𝐊𝐔 ✔
Fanfiction"Love is when the other person's happiness is more important than your own."-H.Jackson Brown, Jr. Iqbaal Dhiafakhri, pria tampan dengan sejuta pesonanya. Zidny Iman, gadis cantik paling beruntung. Dan (Namakamu) Anandita, gadis yang paling mudah ber...