45. Goodbye

2.9K 465 41
                                    

Setelah malam itu, (Namakamu) tidak pernah lagi berinteraksi dengan Iqbaal. Pria itu kebanyakan menghindarinya. Jika ia sedang lewat, pasti Iqbaal dengan segera langsung membuka topik pembicaraan dengan Bastian dan Aldi yang akhir-akhir ini selalu bersama. Jika di rumah, (Namakamu) hanya melihat pria itu saat pagi berangkat sekolah dan malam saat pria itu pergi entah ke mana.

(Namakamu) tidak pernah menyangka dan menduga jika persahabatannya dengan Iqbaal akan jadi seperti ini. Ia selalu berpikir bahwa semua akan baik-baik saja sampai nanti mereka menemukan kebahagiaan masing-masing. Namun realita memang tidak sesuai dengan ekspetasi.

Semua surat-surat sekolah yang (Namakamu) butuhkan untuk mendaftar di kampus yang sudah ia pilih sudah lengkap. Ia memutuskan untuk mengantarkannya kepada Devano karena pria itu yang akan mengirimkan surat-surat itu terlebih dahulu.

"Jadi pindah nggak, nih?" Tanya Devano saat melihat wajah (Namakamu) yang sejak beberapa hari yang lalu tampak tidak bersemangat.

(Namakamu) hanya tersenyum tipis. Ia sedang tidak minat untuk mengobrol apalagi bercanda dengan siapapun. Ia hanya ingin menyendiri seraya menikmati angin semilir berhembus seperti di tempat yang Iqbaal tunjukkan padanya kemarin. Ah~ ia jadi ingin berkali-kali mengunjungi tempat itu. Tapi, kan, keadaannya berbeda.

Devano duduk di hadapan (Namakamu) dan menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Ia memandang wajah (Namakamu). Gadis itu sibuk melamun.

"Lo sebenernya yakin nggak, sih, buat pindah? Gue bisa bantu lo bujuk papa lo kalo emang lo nggak mau pindah." Ucap Devano menawarkan diri. Ia tahu, (Namakamu) masih ragu atas kepindahan ini.

"Nggak. Gue yakin mau pindah, kok. Gue cuma lagi kepikiran tentang hidup gue nantinya di sana. Bakalan tetep kayak gini atau nggak." (Namakamu) tersenyum. Ia tidak ingin membuat Devano khawatir.

"Ya kalo lo mutusin buat pindah, pasti ada beberapa hal yang berubah. Keberadaan Iqbaal misalnya." Ucap Devano yang hanya mendapat senyuman tipis dari (Namakamu).

🍃🍃🍃

Motor Iqbaal berhenti di depan pagar rumahnya. Ia turun dan segera membuka pintu pagar rumahnya. Setelah itu, memasukkan motornya ke dalam halaman rumah. Siang ini bundanya pamit untuk pergi ke Bandung. Katanya ada sedikit kepentingan di sana. Jadi tugas Iqbaal adalah menjaga rumah, makanya ia pulang lebih awal dari biasanya. Toh, kelas dua belas sudah bebas.

Setelah memastikan motornya sudah terparkir dengan benar, Iqbaal kembali untuk menutup pintu pagar rumahnya. Namun langkahnya terhenti saat melihat (Namakamu) berdiri di dekat pintu pagarnya. Gadis itu menatapnya lekat.

Iqbaal terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya dan berhenti tepat di hadapan (Namakamu). Ia menatap manik mata (Namakamu) sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Kenapa? Ngapain ke sini?" Tanya Iqbaal seraya menatap (Namakamu).

Bukan maksud Iqbaal untuk mengacaukan semua hal baik yang terjadi di antara ia dan (Namakamu) akhir-akhir ini. Ia hanya belum bisa menerima jika ia akan berpisah dengan gadis di hadapannya ini. Berpisah dalam waktu yang lama.

(Namakamu) membasahi bibirnya. Ia menyodorkan sebuah paper bag ke arah Iqbaal. "Buka nanti, ya. Gue ke sini cuma mau kasih itu sama... pamit." Ucapnya cukup ragu.

"Besok pagi jadwal flight gue. Gue tau kalo gue pamit sama lo besok, lo pasti nggak akan mau nemuin gue. Jadi gue pamit sama lo sekarang." (Namakamu) menggigit bibir bawahnya. "Makasih udah mau jadi sahabat terbaik buat gue. Makasih juga udah cinta sama gue dan bales perasaan gue. Gue harap lo selalu bahagia. Gue doain lo sukses buat ke depannya. Lancar juga buat kuliah lo nanti. Gue nggak yakin bakal balik lagi ke Indo. Tapi gue harap, gue bisa liat lo sukses beberapa tahun lagi." Lanjut (Namakamu) seraya berusaha mengulas senyuman. Menatap Iqbaal seperti ini membuatnya ingin mengurungkan niatnya untuk pindah. Namun tidak mungkin. Ia tidak mungkin membuat ayahnya kesulitan.

𝐊𝐈𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐊𝐄𝐂𝐈𝐋 𝐇𝐀𝐓𝐈𝐊𝐔 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang