49. Changes

3.1K 524 52
                                    

(Namakamu) tidak tahu bagaimana bisa setelah tujuh tahun berpisah akhirnya ia kembali bertemu dengan sosok cinta pertamanya. Ia terdiam menatap manik hitam pria yang baru saja ia tabrak. Seketika semua rencana yang akan ia lakukan terlupakan dalam sekejap.

"(Namakamu)..."

Suara lirih pria di hadapannya membuatnya semakin yakin bahwa apa yang di hadapannya bukan sebuah ilusi atau bagian dari bunga tidurnya. Pria yang selama tujuh tahun tidak pernah ia temui kini berdiri di hadapannya dengan gaya yang benar-benar berbeda. Dia sudah menjadi pria dewasa sekarang.

Iqbaal sendiri bingung harus melakukan apa sekarang. Ia hanya terdiam menatap (Namakamu) yang juga menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Sungguh, ia sangat ingin memeluk gadis di hadapannya. Tapi ia berpikir bahwa itu terlalu cepat mengingat mereka baru bertemu kembali setelah sekian lama.

Iqbaal membasahi bibirnya. "Bisa tunjukin kafe di deket sini?"

🍃🍃🍃

Suasana kafe yang cukup ramai dengan suara obrolan pengunjung tidak mampu memecah keheningan yang terjadi di antara Iqbaal dan (Namakamu). Dua cangkir minuman hangat di hadapan keduanya juga hanya menjadi sebuah objek untuk di mainkan. Canggung.

"Apa kabar?" Iqbaal mendahului untuk membuka suara.

(Namakamu) menatap pria yang duduk di hadapannya kemudian mengulas senyum tipis sejenak. "Baik. Lo? Bunda? Apa kabar?" Tanya (Namakamu).

"Sama. Gue sama bunda juga baik." Jawab Iqbaal dengan rasa canggung yang ada.

(Namakamu) mengangguk-angguk dan keheningan pun kembali tercipta. Keduanya terdiam, namun sibuk berpikir untuk membahas topik apa setelah sekian lama tidak bertemu. Sesekali Iqbaal melirik gadis di hadapannya yang semakin cantik.

"Kenapa lo menghilang? Lo pasti punya alasan untuk hal itu." Ucap Iqbaal yang sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya macam-macam dulu.

(Namakamu) menatap Iqbaal, kemudian beralih menatap cangkir di hadapannya. "Gue nggak menghilang. Gue cuma berusaha untuk hidup normal. Punya banyak temen, punya keluarga yang harmonis, ya... walaupun cuma ada bokap. Gue di sini juga sibuk kuliah terus kerja."

"Sangking sibuknya sampe lo harus hapus semua akun lo? Bahkan nggak ada satu pun yang bisa di hubungin?"

(Namakamu) terdiam.

"Gue nggak tau alasan lo apa menghilang gitu, aja. Jujur, gue seneng banget bisa ketemu lo lagi. Gue pikir gue nggak akan pernah ketemu lo lagi sangking lamanya gue susah cariin lo. Bahkan gue sempet berpikir kalo lo udah pindah dari Australia." Iqbaal terkekeh singkat. "Tapi nyatanya skenario yang Tuhan buat lebih indah. Akhirnya gue bisa ketemu sama lo. Lo alasan kenapa gue ada di sini sekarang. Gue..."

Iqbaal menunduk dan menghela nafas panjang, kemudiam kembali menatap (Namakamu). "Gue kangen banget sama lo, (Nam...)" Ucapnya hampir dengan suara berbisik.

(Namakamu) bungkam. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. "Semua udah berubah, Iqbaal. Nggak seharusnya lo habisin waktu lo cuma buat cari gue. Ini bukan waktunya buat lo main-main--"

"Main-main? Lo tau kenapa gue rela habisin banyak waktu cuma buat nemuin lo? Karena gue tau, ini kesempatan terakhir gue buat perjuangin lo. Bahkan setiap harinya, setiap momen yang gue lewatin tanpa lo, nggak bisa sedikit pun ngerubah perasaan gue ke lo. Bahkan perasaan gue makin besar setiap gue jalanin hari-hari gue selama tujuh tahun tanpa lo. Gue nggak main-main. Gue nggak mau kehilangan kesempatan dengan lebih mentingin hal konyol. Dan cari lo... itu udah jadi prioritas gue selama tujuh tahun."

(Namakamu) menatap lekat manik mata Iqbaal yang terus memancarkan keseriusan. Pria itu sungguh-sungguh. Seharusnya ia tahu, Iqbaal bukan lagi remaja labil yang akan bingung harus melakukan apa. Iqbaal kini sudah menjadi pria dewasa yang mengerti apa yang ia lakukan dan berani menerima apapun resikonya.

"Gue..." (Namakamu) membasahi bibirnya. "Gue harus pergi. Gue ada urusan yang harus gue selesaiin. Makasih kopinya."

(Namakamu) bangkit dan menggendong tasnya, kemudian melangkah pergi meninggalkan Iqbaal yang terdiam. Pria itu segera bangkit dan berlari kecil menyusul (Namakamu). Setelah menemukan (Namakamu) yang berada tidak jauh dari kafe, ia langsung menahan lengan gadis itu.

(Namakamu) sontak menghentikan langkahnya dan menatap Iqbaal. Pria itu menghembuskan nafas pelan. "Gue anter."

"Nggak usah. Gue bisa sendiri, kok."

"Gue anter. Nggak nerima penolakan."

🍃🍃🍃

Setelah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, akhirnya Iqbaal dan (Namakamu) di depan sebuah butik. Keduanya langsung memasuki butik dan langsung mendapat sapaan hangat dari pelayan butik.

"Ah~ Mrs.(Namakamu). You come at the good time. Your wedding dress already finish." Ucap wanita paruh baya yang sangat antusias dengan kedatangan (Namakamu).

Iqbaal terdiam. Ia menatap (Namakamu) dengan tatapan yang sulit di artikan. Kedua tangannya mengepal kuat dan matanya mulai memerah. Tenggorokannya terasa tercekat.

"Can I look?"

"Of course!"

Selangkah (Namakamu) melangkah maju, berlangkah-langkah Iqbaal meninggalkan butik. Pria itu berlari menjauh dari butik dengan perasaan campur aduk. Matanya memerah dan nafasnya tersenggal. Perlahan langkahnya memelan. Kepalanya mendongak memandang langit yang sedikit mendung. Iqbaal merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponselnya. Ia segera menghubungi nomor Aldi.

"Halo, Di? Tolong jemput gue. Gue shareloc."

🍃🍃🍃

Aldi dan Bastian mempercepat langkahnya mengikuti Iqbaal yang melangkah cepat menuju kamar hotel ketiganya. Mereka tahu apa yang membuat Iqbaal seperti ini. Apalagi Bastian yang dengan bodohnya malah memberikan sebuah benda yang membuat Iqbaal semakin menjadi.

"Baal! Biar gue jelasin. Ini--"

Brak!

"Aduh! Hidung gue~" Keluh Bastian seraya mengusap hidungnya yang terbentur pintu hotel yang Iqbaal tutup secara kasar.

Aldi mengusap kasar wajahnya. Ia langsung menatap datar Bastian yang malah menatapnya polos. "Kenapa?" Tanya Bastian.

"Andai lo nggak kasih itu undangan, Iqbaal nggak bakal sampe kayak gini."

"Ya, kan, si Devano mau nikah. Kita di kasih undangannya. Nah, Iqbaal kam juga temen Devano. Apa salahnya ngasih tau Iqbaal?"

"Polos-polos kek tai ya elu doang. Bodolah!"

"Eh, woy! Jangan ngambek juga!"

🍃🍃🍃

Iqbaal memukul berkali-kali lantai yang menjadi tempatnya duduk sekarang. Isakannya tertahan dan badannya bergetar hebat. Ia terlambat. Semuanya sudah terlambat. Ini akhirnya. Ia tidak akan menjadi sumber kebahagiaan (Namakamu) lagi.

(Namakamu) bukan jodohnya.

Dan malam ini, Iqbaal yakin ia hanya akan bisa menangis dan menyesali semua kebodohannya selama ini. Ekspetasinya tidak sesuai dengan realita yang ia terima. Kisahnya dengan (Namakamu) benar-benar berhenti sampai di sini.

Tbc.

𝐊𝐈𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐊𝐄𝐂𝐈𝐋 𝐇𝐀𝐓𝐈𝐊𝐔 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang