Kelas 12 IPA 3.
Setelah beberapa minggu di sibukkan dengan ujian dan liburan, akhirnya Iqbaal kembali menjalani aktivitas sekolahnya seperti biasa. Bedanya, kini ia adalah siswa dengan tingkat tertinggi di sekolah. Iya, sekarang ia sudah berada di tingkat akhir, kelas dua belas.
Jika ada yang bertanya-tanya bagaimana hubungan antara dirinya dengan (Namakamu), jawabannya masih sama. Tidak ada yang berubah di antara keduanya. Masih dalam status persahabatan yang mungkin berubah menjadi teman? Tak apa. Setidaknya Iqbaal tidak di acuhkan lagi oleh (Namakamu). Gadis itu kembali berteman baik dengannya.
"Lo udah sarapan?" Tanya Iqbaal di sela-sela aktivitasnya mencoret-coret papan tulis. Mumpung masih dia dan (Namakamu) yang datang.
"Belum, sih. Tapi gue di bikinin bekal sama Devano." Ucap gadis itu seraya menunjukkan sebuah kotak makan berwarna biru muda dengan gambar teddy bear di tengahnya.
Iqbaal menghapus coretannya dan beranjak duduk di bangkunya. "Oh.. gitu. Gue juga ada bekal buat lo sebenernya. Bunda yang bawain. Katanya lo kurusan. Jadi bunda bikinin makanan kesukaan lo." Iqbaal mengeluarkan sebuah kotak makan berwarna hijau, lalu meletakkannya ke hadapan (Namakamu).
(Namakamu) menatap sejenak kotak makan tersebut, kemudian tersenyum. "Makasih. Bakal gue makan, kok. Nanti siang kita makan bareng, deh. Gue bakal ajakin yang lain juga." Ucapnya, kemudian memasukkan dua kotak makan itu ke dalam laci mejanya.
Iqbaal hanya mengangguk.
Hening. (Namakamu) sibuk memandang ke luar jendela, sedangkan Iqbaal sibuk memperhatikan (Namakamu). Gadis itu banyak berubah. Bukan lagi gadis yang selalu mengekorinya. Bukan lagi gadis manja yang akan selalu mmeinta bantuan kepadanya. Dan bukan lagi gadis cengeng yang selalu memperjuangkannya.
"Gue pengen semuanya balik kayak dulu lagi." Gumam Iqbaal pelan. Namun (Namakamu) masih bisa jelas mendengar gumaman Iqbaal.
(Namakamu) menoleh dan menatap Iqbaal yang sedang tersenyum ke arahnya dengan tatapan sendu. "Kenapa?" Tanyanya, seolah ia tidak mendengar dengan jelas apa yang Iqbaal ucapkan barusan.
"Nggak. Nggak papa." Kemudian, Iqbaal mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menghela nafas panjang dan menidurkan kepalanya di atas meja.
"Gue juga pengen semua kayak dulu lagi." Ucap (Namakamu) tiba-tiba, sedangkan Iqbaal yang cukup terkejut memilih untuk diam.
"Gue kangen sama persahabatan kita yang dulu. Gue kangen naik sepeda bareng sama lo. Gue kangen bercanda sama lo. Gue kangen curhat sama lo. Gue kangen semuanya. Tapi--" (Namakamu) menunduk.
"Gue nggak tau gimana caranya ngilangin kecewa gue dari lo. Gue masih kecewa sama lo." Ucap (Namakamu) yang terdengar sedikit lirih.
Iqbaal menggigit bibir bagian dalamnya. Ternyata bukan hanya dia yang mengharapkan semuanya kembali seperti dulu. Bahkan gadis itu mengharapkannya. Bisa saja Iqbaal mengembalikan semuanya seperti dulu jika (Namakamu) mau. Tapi kembali lagi pada kenyataan. (Namakamu) masih kecewa padanya dan ia pun takut kembali menyakiti gadis itu.
"Habis ini anter ke perpus, ya. Gue mau ambil paket biologi." Akhirnya Iqbaal memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
Ia bingung harus berkata apa.
🍃🍃🍃
"Gue nggak tau gimana caranya ngilangin kecewa gue dari lo. Gue masih kecewa sama lo."
Helaan nafas keluar dari mulut Devano. Kedua tangannya mengepal, tak lama kemudian kepalan itu mengendur. Seharusnya ia tidak perlu khawatir jika pada akhirnya (Namakamu) ingin semuanya kembali seperti semula. Ia sadar, ia hanya orang baru di kehidupan (Namakamu). Bukankah ia harus bahagia? Toh, jika memang ia tidak bahagia memangnya ia akan langsung mendapatkan hati (Namakamu)? Tidak. Semuanya tidak semudah itu.
Devano memilih untuk meletakkan buku tugas (Namakamu) di bangku panjang di depan kelas gadis itu, kemudian melangkah pergi kembali menuju kelasnya yang bersebelahan dengan kelas (Namakamu).
Perlahan tapi pasti, semua akan kembali seperti semula. Begitu pula dengan kehadirannya di hidup (Namakamu).
🍃🍃🍃
"Lo duduk aja. Biar gue cari sendiri bukunya." Ucap Iqbaal yang kemudian melangkah pergi menuju rak buku tebal yang ada di bagian belakang. Ia harus bergerak cepat agar tidak terlambat masuk ke kelas.
Iqbaal mendongak dan membaca satu persatu buku bertemakan bilogi yang berjajar rapi di rak perpustakaan. Tangan kanannya terulur dan mengambil salah satu buku. Ia membaca sejenak isi bukunya dan memilih buku tersebut sebagai buku referensinya. Setelah itu, ia kembali melangkah menuju tempatnya meninggalkan (Namakamu) tadi. Namun baru setengah jalan, ia melihat (Namakamu) sedang sibuk bercerita kepada Devano yang entah sejak kapan berada di sana.
Ia menatap lekat keduanya. Devano yang tampak menjadi pendengar yang baik dan (Namakamu) yang tampak antusias sebagai pencerita. Sesekali (Namakamu) tertawa dan mencubit tangan Devano saat pria itu berkomentar aneh. Dan pada akhirnya, keduanya akan terkekeh pelan.
"Pokoknya yang semalem itu bukan salah gue." Ucap Devano setengah berbisik.
"Idih! nggak bisa gitu. Lo yang semalem bikin Aldi jatuh, ya." (Namakamu) juga ikut berbisik.
"Udah Aldi aja yang salah." Final Devano yang membuat (Namakamu) terkekeh. "Inget komuknya Aldi waktu kejengkang, nggak? Sumpah! ngakak gue. Tapi kasian." Tambah Devano.
(Namakamu) tertawa hampir tanpa suara. "Iya, gue inget banget. Aduh~ sakit perut gue nahan ketawa." Ucapnya seraya melanjutkan tawanya. Namun hampir saja meledak keras jika seandainya Devano tidak bergerak cepat membekap mulut gadis itu.
"Sstt... entar kita di usir sama bu Mayang, lho." Ucap Devano seraya terkekeh pelan. Begiti pula dengan (Namakamu) yang juga terkekeh seraya mengangguk cepat.
Bolehkah?
Apa boleh jika Iqbaal cemburu? Apa ia masih memiliki celah untuk cemburu?
Iqbaal menghela nafas panjang. Ia menatap wajah (Namakamu) lekat. Gadis itu tampak cantik jika tersenyum seperti itu. Ia lega masih bisa melihat senyum gadis itu, walay bukan dia lagi yang menjadi alasannya.
"Gue cinta sama lo. Tapi kenapa di saat gue mau ungkapin semuanya gue malah jadi pecundang yang akhirnya memperburuk semuanya? Apa ini karma buat gue karena udah nyakitin lo berkali-kali? Atau emang ini yang harus gue terima kalo gue milih merjuangin lo?"
Tiba-tiba (Namakamu) menoleh dan menatapnya yang sedang menatap gadis itu. (Namakamu) melambaikan tangannya, menyuruh Iqbaal untuk mendekatinya. Sedangkan Iqbaal hanya menurut saja.
"Udah?" Tanya (Namakamu).
Iqbaal tersenyum dan mengangguk. "Udah, kok. Yuk! Takut telat masuk kelas." Ajaknya seraya memberikan ruang agar (Namakamu) bisa beranjak dari duduknya.
"Kita lanjut nanti, ya, Dev. Gue duluan ke kelas. Bye!"
"Iya. Bye!"
Iqbaal membiarkan (Namakamu) berjalan mendahuluinya. Ia menatap Devano yang juga sedang menatapnya. Tak lama kemudian, Devano hanya tersenyun tipis dan beranjak pergi.
'Dia yang terlalu baik atau gue yang terlalu merendah soal berjuang?'
Tbc.
Update lagi ya kaaann
Vote komennya silahkan
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐈𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐊𝐄𝐂𝐈𝐋 𝐇𝐀𝐓𝐈𝐊𝐔 ✔
Fanfiction"Love is when the other person's happiness is more important than your own."-H.Jackson Brown, Jr. Iqbaal Dhiafakhri, pria tampan dengan sejuta pesonanya. Zidny Iman, gadis cantik paling beruntung. Dan (Namakamu) Anandita, gadis yang paling mudah ber...