Sore ini, Iqbaal dan (Namakamu) melangkah beriringan dengan santai menapaki trotoar jalanan menuju rumah keduanya. Sesekali keduanya mengobrol ringan seraya bercanda. Beberapa kali juga teman-temannya yang berpapasan menyapa.
"Kapan check up? Gue denger dari Aldi lo harus ngecek kondisi tangan lo ke rumah sakit walau udah pulang." Ucap (Namakamu) seraya menatap Iqbaal yang berjalan di samping kanannya.
Keduanya baru saja membeli ice cream. Itu keinginan (Namakamu) dan Iqbaal hanya memenuhinya. Dan kini keduanya menikmati ice cream seraya melangkah santai untuk pulang. Untungnya cuaca cukup mendukung. Tidak terlalu panas.
"Nanti malem gue bakal check up. Mau ikut?" Tanya Iqbaal seraya menjilati ice cream cone rasa coklat di tangannya.
"Mau. Gue juga bakal gabut banget di rumah, soalnya papa selalu pulang malem banget akhir-akhir ini. Jadi mending gue ikut lo, aja." Jawab (Namakamu) dengan antusias.
Iqbaal hanya mengangguk dan kembali fokus pada jalanan yang mereka lalui. Hening. Tidak ada lagi obrolan di antara keduanya. Keduanya sama-sama sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing.
Sekitar sepuluh menit keduanya hanya sibuk terdiam dengan pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya langkah keduanya sampai pada komplek tempat tinggal mereka. Keduanya menyapa satpam komplek, kemudian kembali melanjutkan langkah santai menuju rumah.
"Emang Devano nggak marah kalo lo pulang sama gue?" Tanya Iqbaal tiba-tiba.
Dahi (Namakamu) berkerut, ia bingung. "Kenapa harus marah? Lo, kan, sahabat gue." Jawab (Namakamu) seadanya.
Suara gesekan sepatu keduanya dengan jalanan komplek terdengar mengisi keheningan yang tercipta. Iqbaal tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat (Namakamu) ikut menghentikan langkahnya.
Dengan mata hitamnya, Iqbaal menatap (Namakamu) yang sedang menatapnya juga. "Lo... masih kecewa sama gue?" Tanya Iqbaal ragu. Takut merusak suasana.
Tidak ada jawaban.
(Namakamu) hanya terdiam seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gadis itu memandang kosong ke arah depan dengan Iqbaal yang menatapnya menunggu jawaban.
"Kecewa itu bukan marah yang bisa dengan gampang hilang gitu, aja. Kecewa itu ada bekasnya dan bekas itu nggak akan pernah hilang sampe kapanpun." Ucap (Namakamu) hampir dengan suara berbisik.
Gadis itu kembali menatap Iqbaal dan tersenyum tipis. "Itu kenapa gue berharap lo nggak pernah ngecewain gue. Tapi, kan, nggak semua harapan bisa terkabul." Ucapnya dengan manik mata yang terus menatap Iqbaal.
Perlahan Iqbaal meraih tangan (Namakamu) dan menggenggamnya pelan. "Kalo gitu kasih gue kesempatan lagi. Lo mau, kan... ngulang semuanya dari awal?" Iqbaal menatap lekat manik mata (Namakamu).
Devano.
Nama itu yang langsung terlintas di benak (Namakamu). Apa pantas ia melakukan ajakan Iqbaal di saat Devano yang selalu susah payah membahagiakannya?.
Selalu Devano yang membuatnya tersenyum dan tertawa seolah tidak ada beban sedikitpun di hidupnya. Devano yang selalu ada untuknya di saat ia terpuruk. Dan Devano yang pertama kali menyatakan perasaan padanya.
(Namakamu) terdiam. Perlahan ia melepaskan genggaman tangan Iqbaal darinya. "Udah makin sore. Kita harus cepet-cepet pulang. Ayo!"
Iqbaal menatap (Namakamu) yang melangkah mendahuluinya. Pertanyaannya belum terjawab. Apa ia berharap terlalu banyak bahkan di saat ia tidak bisa memberikan apapun untuk (Namakamu)?
Mungkin jawabannya karena (Namakamu) masih kecewa padanya.
Itu alasan terlogis mengapa (Namakamu) tidak memberikan jawaban padanya.
🍃🍃🍃
Devano menutup pintu kamarnya. Ia baru saja sampai. Masih dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya, Devano membaringkan tubuhnya. Punggungnya langsung terasa lebih baik setelah menyentuh kasur. Hari ini adalah hari yang melelahkan untuknya.
Ia menghela nafas panjang.
Pikirannya melayang memikirkan apa yang terjadi hari ini. Ia memejamkan matanya sejenak seraya kembali menghela nafas panjang. Tak lama kemudian, Devano beranjak duduk dan mengacak rambutnya.
"Gue kenapa, sih? Harusnya gue seneng liat (Namakamu) seneng. Tapi... kenapa gue malah kayak gini?" Tanyanya pada diri sendiri.
Devano bangkit dan terdiam sejenak. "Emang seharusnya dari awal gue nggak usah ikut campur urusan mereka. Harusnya gue sadar... nggak ada sedikit pun cela di hati (Namakamu) buat gue. Harusnya gue tau diri, bukan gue yang jadi harapannya." Ucapnya yang kemudian terduduk di dekat kasurnya.
"Kenapa gue harus jatuh cinta sama lo, (Nam...)?"
🍃🍃🍃
'Kalo gitu kasih gue kesempatan lagi. Lo mau, kan... ngulang semuanya dari awal?'
(Namakamu) hanya terdiam memandang ke arah luar jendela kamarnya. Langit sedang mendung. Beberapa kali suara gemuruh terdengar. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
Ucapan Iqbaal masih terus berputar di otaknya. Jujur, ada sedikit keinginan dari hatinya untuk mencoba memberi kesempatan kembali kepada Iqbaal. Terkadang ia juga ingin memulai semuanya dari awal. Namun ia juga memikirkan bagaimana perasaan Devano nantinya.
'Gue suka sama lo, sebagai cewek bukan temen atau sahabat. Rasa suka gue sama kayak rasa suka lo ke Iqbaal. Gue bener-bener suka sama lo.'
Bahkan ia tidak pernah lupa bagaimana Devano mengungkapkan perasaan padanya. Ia tidak pernah lupa bagaimana tatapan sendu yang Devano berikan padanya. Ia tentu masih ingat bagaimana Devano berlarian hanya untuk menemuinya di taman saat itu.
Semua masih ia ingat.
Ia ingin memulai semuanya dari awal. Namun ia masih ingat bagaimana perjuangan Devano. Tidak mungkin ia menyakiti Devano yang notabenenya orang yang selalu berjuang untuk kebahagiaannya.
Tapi ia sadar, Devano sudah menerima banyak rasa sakit darinya.
🍃🍃🍃
Iqbaal memandang dari kejauhan (Namakamu) yang berada di dekat jendela. Gadis itu tampak merenung dengan pandangan yang terus terfokus kepada langit mendung.
Ia tahu sekarang. Devano. Pria itu yang membuat (Namakamu) mengalihkan topik pembicaraannya tadi. Entah mengapa ia lupa dengan kehadiran Devano di hidup (Namakamu). Ia lupa bahwa selama ini Devano yang membahagiakan (Namakamu), ia malah seenaknya meminta hal seperti itu pada (Namakamu).
"Andai gue lebih berani ngelakuin semuanya. Pasti sekarang kita tetep baik-baik, aja." Gumam Iqbaal tanpa mengalihkan pandangan dari (Namakamu) yang baru saja terlihat menghela nafas.
Hujan perlahan turun. Iqbaal mundur beberapa langkah dari pagar pembatas balkon. Ia kembali memandang ke arah jendela kamar (Namakamu) yang perlahan memburam karena air hujan.
"Gue takut buat ngelepasin lo. Tapi rasanya gue harus ngelepasin lo buat kebahagiaan lo. Tapi untuk sekarang biarin gue egois sebentar. Biarin gue bahagiain lo walau cuma sebentar."
Rike menutup kamar putranya dengan perlahan. Ia menghela nafas singkat, kemudian melangkah pergi dari kamar Iqbaal. Ia akan mengundur kembali jadwal check up Iqbaal yang sudah ia majukan. Putranya butuh waktu sendiri.
Tbc.
Menurut kalian 50 part buat kkh cukup nggak? Atau mungkin mau lebih dikit?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐈𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐊𝐄𝐂𝐈𝐋 𝐇𝐀𝐓𝐈𝐊𝐔 ✔
Fanfiction"Love is when the other person's happiness is more important than your own."-H.Jackson Brown, Jr. Iqbaal Dhiafakhri, pria tampan dengan sejuta pesonanya. Zidny Iman, gadis cantik paling beruntung. Dan (Namakamu) Anandita, gadis yang paling mudah ber...