Iqbaal memandangi luka-lukanya yang kini terbuka tanpa tertutupi oleh perban. Ia menatap tangan telaten seorang suster yang sedang mengganti perbannya. Sesekali ia meringis pelan saat obat merah menyentuh lukanya.
"Setelah ini dokter akan memeriksa masnya. Nanti silahkan sampaikan ada keluhan apa saja." Ucap susternya ramah seraya membereskan perlengkapannya.
Iqbaal hanya mengangguk dan membiarkan suster itu keluar dari ruangannya. Ia menghela nafas, kemudian mengalihkan pandangan ke arah luar jendela. Rasanya ia ingin keluar untuk menghirup udara segar pagi ini.
'Gue harap gue nggak pernah jatuh cinta sama lo, Baal~'
Iqbaal kembali menghela nafas. Kejadian semalam masih terus memenuhi kepalanya. Dadanya terasa sesak saat mengingat bagaimana (Namakamu) menangis di hadapannya. Seharusnya ia tidak buru-buru mengungkapkan perasaannya. Seharusnya ia membiarkan keadaan seperti itu dulu sampai nantinya (Namakamu) siap mendengar pernyataannya.
"Keluar ruangan enak kayaknya."
Iqbaal menoleh. Ia menatap Zidny yang berdiri di dekat pintu ruangannya yang baru saja gadis itu tutup. Ia hanya tersenyum tipis dan kembali memandang ke arah luar jendela.
Zidny membasahi bibirnya dan duduk di kursi kosong yang ada di samping ranjang Iqbaal. Ia menatap lekat siluet wajah Iqbaal. Pria itu tampak sedang banyak pikiran.
"Lo masih marah sama gue?" Tanya Zidny dengan sedikit ragu.
Iqbaal hanya diam. Ia mengharapakan kedatangan (Namakamu) bukan malah Zidny.
"Gue minta maaf. Gue nggak ada niat buat nyelakain (Namakamu), kok. Gue cuma mau minta bantuan dia kemarin. Gue nggak ada niat apa-apa." Ucap Zidny menjelaskan.
Iqbaal melirik Zidny yang kini sedang menunduk. Ia memejamkan matanya dan menghela nafas panjang. "Gue nggak marah sama lo. Jadi lo nggak perlu minta maaf." Ucapnya yang membuat Zidny langsung mengangkat kepalanya.
Gadis itu tersenyum lega. Sejak kemarin ia sangat-sangat kepikiram tentang hal ini. Ia takut Iqbaal marah padanya.
"Kok lo nggak sekolah?" Tanya Iqbaal.
"Hari ini, kan, tanggal merah." Ucap Zidny yang membuat Iqbaal mengangguk-angguk.
Tak lama kemudian, dahinya berkerut. Ia menatap Zidny yang sedang menatapnya juga. "Sekarang tanggal berapa?" Tanyanya.
"Tanggal dua puluh satu. Kenapa?" Zidny menatap Iqbaal penuh tanya.
Iqbaal terdiam, kemudian menggeleng cepat. "Nggak. Nggak papa."
'Besok ulang tahun (Namakamu).'
🍃🍃🍃
Devano menatap (Namakamu) bingung. Gadis itu terus memotong daging steak yang ia pesan terus menerus. Padahal yang ia rasakan, daging steaknya sangat lembut.
Dengan segera, Devano menahan pergerakan tangan (Namakamu), yang malah membuat gadis itu tersentak. (Namakamu) kini tampak blank. Gadis itu meletakkan peralatan makannya dan menatap Devano dengan senyuman canggung.
"Lo lagi mikirin apa sih, (Nam...)? Iqbaal, ya?" Tanya Devano yang langsung mendapat gelengan cepat dari (Namakamu).
"Nggak, kok." Jawab (Namakamu) yang langsung kembali fokus pada makanannya.
Devano menatap ragu (Namakamu). "Yakin?" Tanyanya.
(Namakamu) hanya mengangguk, tak lupa dengan senyuman tipis yang gadis itu tunjukkan. Ia kembali foksu pada steaknya yang sudah acak-acakan. Dengan segera, ia memakannya perlahan tanpa menghiraukan Devano yang masih menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐈𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐊𝐄𝐂𝐈𝐋 𝐇𝐀𝐓𝐈𝐊𝐔 ✔
Fanfiction"Love is when the other person's happiness is more important than your own."-H.Jackson Brown, Jr. Iqbaal Dhiafakhri, pria tampan dengan sejuta pesonanya. Zidny Iman, gadis cantik paling beruntung. Dan (Namakamu) Anandita, gadis yang paling mudah ber...