16

994 41 1
                                    

Happy reading!

Disini keempatnya berada, disalah satu ruangan yang ada dipojok rumah si kembar. Ruangan itu sudah ada sejak keempatnya mulai bersahabat. Kira-kira mereka bersahabat sejak duduk dibangku menengah pertama.

Kemarin Gilang sudah menceritakan semuanya, baik tentang mengikuti Asya dan Satria sampai mengetahui kalau mereka itu adalah adik kakak. Juga, tentang Misell yang mengunci Asya di toilet.

"Lo curigain Misell? Memangnya dia kenapa?" tanya Ricko sambil memakan Lays rumput laut.
"Tadi pagi, gue ikutin dia. Dan dia udah rencanain mau kurung Asya di gudang belakang sekolah." jelas Gilang serius.
"Sumpah demi apa?! Si Misell mau kurung Asya di gudang?!" Galang hampir saja berteriak.
"Gila banget. Gila. Otaknya dangkal banget. Segitu terobsesinya dia sama lo, Gil." Rifan memiringkan jari telunjuknya di dahi.

"Jadi rencananya apa?" tanya Galang.
"Gue pengen ikutin kemana pun Asya pergi." balas Gilang sambil mengangkat bahunya.
"Gil, jangan gila deh. Segitu nekatnya mau ikutin Asya kemana aja." Rifan mengernyit.
"Ini semua demi kebaikan Asya. Gue ngga mau dia kena imbas perbuatannya Misell. Gue jadi ngerasa bersalah." Gilang menarik rambutnya.
"Misell emang ngga punya otak." Galang berdecak.
"Punya dong, Gal. Mungkin dia salah letakin, harusnya di kepala eh malah di dengkul." balas Ricko polos.

Asya baru saja pulang dari warung di sebelah rumahnya. Safira dan Hatta sedang pergi ke acara pernikahan teman kantornya Hatta. Sedangkan Satria sedang berkumpul bersama anak-anak basket.

Gadis berambut coklat itu langsung menghidupkan kompor. Ia akan memasak mie instan dengan telur. Agar tidak terlalu sunyi, ia memutarkan lagu milik Bruno Mars- Count On Me. Setelah selesai, ia membawa mangkok berisi mie instan itu ke ruang tengah sambil menikmati drama komedi.

Baru setengah mangkok ia habiskan, tiba-tiba terdengar suara pintu utama terketuk. Asya mengernyit heran, kalau abangnya pasti langsung masuk kan? Gadis itu berjalan dan membukakan pintu utama. Setelah terbuka, raut wajah Asya yang memang datar justru semakin datar setelah melihat siapa yang mengunjunginya malam ini.

***

"Sebenarnya lo itu suka sama Asya ya, Gil?" tanya Galang hati-hati. Ricko dan Rifan lantas menoleh.
"Kalo gue, jujur aja suka sama Azkia lah." celetuk Ricko sambil menyengir.
"Bodo amat, Rick. Bodo amat. Ngga ada yang nanya juga padahal." Rifan meninju lengan Ricko pelan.
"Cuman ngasih tau aja, siapa tau kalian kepo." Ricko cekikikan sendiri.

"Sebenarnya gue-" ucapan Gilang terpotong karena tiba-tiba Bulan datang.
"Ayo, Gil. Ajak temen-temennya makan. Daritadi Mama panggilin, tapi ngga ada yang nyaut." Bulan membuka pintu.
"Eh, iya tante." ucap Ricko malu-malu.
"Yaudah, Mama tunggu di meja makan ya."
"Sok-sokan malu lo, biasanya juga malu-maluin." Rifan menyikut perut Ricko.
"Jaga image, cuy." Ricko menyengir.

Selamat, aman, damai, dan makmur, batin Gilang dalam hati.

"Hai, Asya." lelaki berkemeja hitam itu tersenyum. Asya tidak tahu harus senang atau sedih, yang hanya ia pikirkan adalah untuk menutup pintu ini secepatnya. Tapi tangannya terasa kaku untuk melakukannya.
"Gue kangen sama lo. Boleh gue peluk?" lelaki itu tersenyum lagi.
"Pergi. Gue ngga mau ketemu sama lo lagi." ucap Asya datar.
"Sya, gue bisa- gue bisa jelasin." lelaki itu duduk berlutut.
"Gue ngga butuh. Semuanya udah jelas."
"Pergi dari sini. Gue ngga butuh lo, Galih Denovansyah." ucap gadis itu dengan suara bergetar. Dengan cepat, gadis itu menutup pintu. Bahunya bergetar, air mata pun tidak dapat tertahan. Asya menangis sejadi-jadinya.

Padahal ia selalu berharap: Tidak akan menangisi lelaki itu lagi. Terlebih lelaki yang membuatnya sakit. Potek cuy💔

Di meja makan sangat sunyi, hanya terdengar suara dentingan sendok dengan piring yang beradu. Keempatnya memang lapar atau bagaimana sih? Baik Galang, Gilang, Ricko maupun Rifan sibuk dengan hidangannya masing-masing.

G I S Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang