31

792 31 0
                                    

Tawa dan senyummu mengalihkan duniaku.
Tertanda, Gilang.

——

Malam ini jalan raya tampak lenggang. Ntah lah, apa karena ini bukan malam minggu sehingga jalanan tampak lebih lenggang dari biasanya.

Dua insan berbeda jenis kelamin itu berjalan menyusuri trotoar jalanan, tak ada percakapan, hanya embusan angin yang terasa menyentuh pelipis.

"Laper ngga?" Tanya lelaki dengan hoodie hitam itu seraya menoleh kearah Asya yang memandang lurus kedepan.

Gadis berambut coklat itu menoleh, "Laper sih, kenapa?"

"Makan dulu yuk, gue ada rekomendasi tempat makan yang enaaakkk banget. Gue jamin lo suka." Gilang terlihat sangat antusias, tanpa sadar tangannya memegang tangan mungil itu.

Gadis itu merunduk, melihat tangannya yang tak sengaja ter-pegang oleh Gilang, seolah sadar, lelaki itu juga ikutan menunduk.

"Ada duit jatuh?" Pertanyaan macam apa itu, dia sadar ngga sih? Ini mau modus apa gimana? Asya membatin dalam hati.

"E—eh, ta-tangan gue." Asya menunjuk tangannya seraya mengulum kedua bibirnya.

"Astagfirullah! Maaf, Sya. Maaf ya." Gilang meringis seraya melepaskan tangannya.

"Duh, main pegang-pegang aja lu." lelaki itu bermonolog sambil menepuk tangannya pelan.

Satria menyesap susu cokelat hangatnya dengan tatapan lurus. Dengan beraninya Gilang Pradikta—juniornya di sekolah, mengajak adik kesayangannya itu nge-date. Satria mencium ada bau-bau pdkt.

Mereka berdua sudah pergi sejak empat jam yang lalu, sedangkan sekarang sudah menunjukkan pukul 20:00. Dan tidak ada tanda-tanda Gilang akan mengantar pulang adiknya itu.

"Kemana sih? Kok belum balik juga?!" Satria berdecak sambil mengetikkan sesuatu dilayar ponselnya.

***

Saat pertama kali menginjakkan kakinya di rumah makan ini, Asya sudah merasa nyaman. Terasa seperti di rumah yang ada di desa-desa. Dindingnya pun terbungkus anyaman bambu, meja dan kursi pun begitu. Pokoknya adem banget deh.

"Maaf ya, gue bawa lo kesini." Lelaki itu terkekeh pelan.

"Santai aja, gue nyaman kok disini."

"Kalo sama gue? Nyaman ngga?" celetuk Gilang tanpa sadar.

"Hah? Gimana, Gil?" Asya memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.

"Pak! Pesan yang paling spesial dua sama minumnya, oke?" Gilang langsung mengalihkan dengan memesan makanan.

"Siap, Nak Gilang!" seru bapak berambut setengah beruban dengan kain lap yang berada di lehernya.

Hening. Kini satu kata itu menyelimuti kedua sejoli itu, sibuk dengan dunianya masing-masing. Kedai ini tampak ramai, terlihat dari kursi-kursi yang terisi penuh oleh para pelanggan.

Abang ipar: Gil, lo dimana sih? Lama amat baliknya. Gue tunggu sampe jam 9, kalo lewat gak ada ampun buat lo, hahahaha.

G I S Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang