[1]

2.1K 237 50
                                    

New Orleans, 2015

-

Hidupku hampir sama berantakannya dengan kamar Immy.

Baiklah, aku cuma melebih-lebihkan. Namun, untuk ukuran anak SMA yang tidak punya tujuan hidup, kupikir pernyataan tadi tidak sepenuhnya salah. Akhir masa remaja telah mengetuk pintu depan, bersiap menyergapku dengan segala realitas hidup yang menyeramkan.

Di luar pikiranku yang sibuk berkelana, Immy sedang sibuk dalam dunianya sendiri, bersama kuas dan paletnya. Gadis itu ... seperti pelangi dengan warna janggal. Dia tidak pernah memakai pakaian dengan warna senada. Warna baju, celana, sepatu dan kaus kakinya selalu bertabrakan, dan sejujurnya, kadang mataku sakit melihatnya. Namun, kalau berpakaian seperti itu membuatnya bahagia, aku bisa apa?

Sahabatku menggemari gaya lukis impresionis; bahkan tokoh idolanya adalah Van Gogh. Tanpa diberitahu pun aku bisa menebaknya dari potret diri Van Gogh dan hasil karya pelukis tersebut yang tergantung di sepanjang dinding. Kamar Immy adalah bentuk kekacauan warna-warni yang indah. Karpet bulu putih di lantai sudah dikotori cat-cat kering, bahkan lantainya sendiri sudah kotor. Syukurlah bukan jenis kekotoran yang membuat orang jijik.

Kini ia tengah serius mengerjakan karya terbarunya. Immy selalu suka melukis langit malam dan hutan. Akan tetapi, tak jarang juga kulihat dia membuat lukisan potret.

"Kau bakal menjualnya?" tanyaku.

Dia cuma mengangguk, sedang terlalu fokus menambahkan detail ke lukisan.

"Berapa?"

"Menurutmu?" Immy bertanya balik dengan suara pelan, masih saja berkonsentrasi. Tatapannya terpaku pada kanvas, tidak dilepaskan sedetik pun.

Aku berpikir sesaat seraya mengamati hasil lukisan itu. "Kalau aku jadi kau, bakal kujual lebih dari lima puluh dolar."

Immy menjauhkan diri dari kanvas dan mendesah lega, barangkali karena karena hasil yang dibuat sesuai dengan bayangannya. "Mungkin bakal kujual tujuh atau sepuluh dolar."

Sudah kuduga Immy tidak akan mematok harga mahal untuk lukisannya, atau malah menggratiskannya kalau memang ada yang suka. Immy selalu menghargai proses melukisnya jauh dibandingkan uang yang diperoleh. Itu bukan masalah mengingat dirinya mendapat biaya hidup yang cukup besar dari sang paman, terbukti dari kemampuannya untuk menyewa apartemen sendiri dan alat-alat lukis mahal yang berserakan di kamar. Akan lain cerita kalau Immy harus membiayai hidupnya secara mandiri.

Sulit mengabaikan rasa iri yang selalu membayangiku setiap memikirkan betapa leluasanya Immy berkarya. Walau aku tidak berkecimpung di dunia seni seperti Immy, kuharap aku bisa menulis novel dengan kualitas sebagus lukisan Immy.

"Seandainya uangku banyak dan aku tidak perlu memikirkan pekerjaan apa yang harus kuambil demi mendapatkan gaji memadai," gumamku.

"Memangnya kau tidak bisa?"

"Tidak kalau aku punya ibu yang menggantungkan harapannya padaku, ayah yang menentangku kuliah sastra, dan nenek yang senang mengomentari segala pilihanku."

Berbeda dari kisah hidupku yang standar, hidup Immy terdengar seperti jalan cerita sebuah film. Setelah kabur dari orang tuanya di London, dia berhasil menetap di New Orleans berkat bantuan sang paman. Sulit mempercayai kalau dia adalah gadis kelahiran Inggris, karena dia bahkan tak punya aksen. Belum lagi, semua urusan imigrasi itu pasti amat merepotkan tanpa adanya orang tua. Di sisi lain, ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi dan aku tidak mau menanyainya lebih lanjut. Immy cukup tertutup soal hal-hal ini.

"Bagaimana dengan novelmu? Kau sedang mengerjakan karya baru, 'kan?" tanya Immy.

Aku tertawa mendengarnya. "Oh, biasalah. Aku memulai bab pertama dan belum sempat melanjutkannya."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang