[14]

720 158 7
                                    

Dante masih belum menyadari kehadiranku. Dia melangkah masuk masuk, berjalan ke tengah ruangan dan mengedarkan pandangan ke seisi kandang.

“Di sini!” Naga hijau di sebelahku mendadak berseru, yang barangkali terdengar seperti raungan atau lolongan keras bagi para penunggang dan pekerja. Yang jelas suara itu cukup menarik perhatian Dante sehingga langsung menoleh kepadaku. Ekspresinya yang gelap menandakan kalau wajahku telah mendiami bagian yang tidak menyenangkan dalam kepalanya, mungkin bagian di mana dia mengingat wajah musuh atau orang yang ingin dibunuh. Pemuda itu mengatakan sesuatu yang tak lebih dari gumaman semata sambil berjalan mendekat dengan cepat. Aku bahkan tidak sempat mengelak sewaktu dia menarik bagian depan kemejaku.

Kau,” dia mendesis.

Aku balas memandanginya dengan alis dinaikkan, seakan itu bisa menyembunyikan rasa takutku “Sudah kering, eh?” tanyaku. Ternyata menyadari status sebagai penunggang naga telah menambah kadar percaya diriku. “Memangnya tidak sulit membersihkan diri dari air kotor?"

Sebelum Dante memukulku sebagai balasan, dari bagian atas kandang, Beast terbang masuk, mendarat di dekat kami dengan keras dan terlihat heroik. Naga-naga beringsut mundur. Genggaman tangan Dante di bajuku melemah sehingga aku menjauhkan diri darinya. Beast memakukan tatapan di wajah Dante, tanpa memalingkan mata sedikit pun.

“Kudengar kau mencariku,” aku lanjut bicara.

Dante tak menjawab selama beberapa saat. Suara yang keluar dari mulutnya tidak lebih dari sekadar bisikan, “Tidak mungkin kau menunggangi naga ini.” Dia menoleh ke arahku dengan tatapan berang bercampur ketidakpercayaan. "Kau manusia biasa.”

“Nyatanya tidak,” tampikku. "Dia nagaku. Aku seorang penunggang yang telah mendapat Cyfar dan tetap hidup.”

Beast masih saja menatap Dante dengan tubuhnya yang sediam batu. Kulihat pekerja yang berada di dekatku tadi menarik Raelynn menjauh, bahkan Dante sendiri beringsut menjauh. Aku baru menyadari asap hitam samar mulai keluar dari celah mulut Beast.

“Mari kita luruskan ini.” Aku berdiri di antara Beast dan Dante. “Apa urusanmu mencariku?”

Dante berusaha menelan ludah, membuat jakunnya bergerak naik-turun. “Ikut aku.” Tanpa menunggu, dia berbalik dan berjalan pergi.

“Serius kau mau ikut dengannya?” tanya Beast. “Kukira rencana kita cuma mencari temanmu dan membawanya pergi dari sini.” Aku tidak membalasnya. Berhubung pintu masuk tidak muat dilewati Beast, naga itu terbang ke bagian atap dan kami bertemu lagi di luar. “Kutebak kau akan dibawa ke hadapan pemimpin mereka.”

Tak jauh dari kandang, mataku menangkap sosok Ben. Wajah pemuda itu masih kelihatan tidak percaya tatkala melihatku, tetapi dia tetap mengulas senyum dan melambai. Aku yakin Kaia akan melambai juga kalau ia bisa.

“Cassie!” Suara naga betina itu terdengar bagai seseorang yang ramah dan riang. Aku melambai balik kepada mereka.

“Itu si pemuda setengah penyihir?” tanya Beast.

“Bisakah kau berhenti mengajakku bicara?" tanyaku melalui sela-sela gigi yang terkatup.

“Kenapa? Takut semakin terkenal?”

"Beast, kalau memang aku akan menemui pemimpin mereka, aku tidak ingin menunjukkan lebih banyak kelebihanku atau mereka punya alasan untuk menahanku.”

Beast mendengus. “Aku cukup yakin mereka tetap akan menahanmu di sini.”

“Kurasa aku tidak bakal tetap di sini. Temanku pasti menjemputku," aku menjawab pelan. Kudapati Beast menoleh ke arahku sekilas, lalu kembali menatap ke depan.

Dante memasuki kabin yang ukurannya cukup besar bila dibandingkan dengan kabin lainnya. Beast berhenti di luar sementara aku masuk, mengekori Dante melewati sebuah ruang tunggu. Pemuda itu berjalan ke salah satu pintu dan membukanya, memperlihatkan sebuah kantor sederhana dan seorang pria yang telah menanti. Pria itu punya rambut cepak berwarna hitam. Matanya sama seperti Dante, berwarna merah tua. Ada bekas luka pudar melintang dari telinga, pipi, hingga dagu.

“Mr. Sandergun,” panggil Dante. Dia bergeser, memberiku jalan. Pria itu bangun dari kursinya dan mengulurkan tangan. Aku meraihnya dengan ragu-ragu.

“Roan Sandergun, kepala pulau,” katanya, memperkenalkan diri. Aku mengangguk.

“Cassidy,” kuberi balasan pelan.

Dia memberiku isyarat untuk duduk. “Mau minum?”

“Tidak, terima kasih, sir. Tapi, ada baiknya kita langsung membahas inti percakapan ini," ujarku, mencoba bicara sesopan mungkin.

“Di mana kau menemukannya?” tanya Roan, benar-benar langsung pada inti. “Sudah lama tidak ada yang melihat iltas.”

Aku berusaha berpikir cepat. Salah cerita sedikit saja bisa menimbulkan masalah, apalagi kalau mereka tahu aku punya kenalan penyihir. Aku tidak ingin tahu seperti apa reaksi mereka kalau sampai mendengar soal Immy. “Di sebuah pulau, arah utara Matumaini. Ada sebuah gua naga di bawah pulau tersebut.” Aku turut menceritakan soal naga ur yang membawaku.

“Mengapa ur itu membawamu ke sana?”

“Aku tidak tahu. Mungkin Bea—iltas itu yang menyuruhnya," aku beralasan.

Roan melipat kedua tangannya di atas meja. Aku meliriknya sedikit, mendapatinya tengah bertukar pandang dengan Dante yang masih berdiri di belakangku.

“Selama ini kau menjalani hidup sebagai manusia. Artinya kau tidak pernah mendapat pelatihan sekali pun. Sekarang kau sudah bertemu nagamu.” Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini dan aku cukup senang Roan tidak bertanya ke mana aku pergi selama berhari-hari. “Itu berarti kau harus bergabung.”

“Harus?” tanyaku, merasa agak enggan. “Bagaimana kalau tidak?”

“Kau wajib mengikuti pendidikan di sini sampai waktunya lulus.”

“Aku tidak bisa,” tolakku.

“Jangan khawatir. Dante akan membantumu mengejar keterting—”

“Apalagi kalau diajar olehnya." Kucoba untuk mengendalikan kepanikan yang menyeruak dalam diriku. Bayangan penunggang naga cilik yang dimarahi habis-habisan oleh Dante kembali terulang dalam benak, membuatku ngeri duluan.

“Kau punya masa depan cemerlang sebagai penunggang naga, terutama berkat iltasmu itu."

Kali ini aku memandang Roan, tepat ke matanya. Dahiku berkerut heran. Aku tahu aku selalu ingin punya naga, tetapi dari cara Roan bicara, rasanya aku hanyalah manusia tidak berguna tanpa nagaku, dan entah kenapa kenyataan itu membuatku kesal.

“Aku tidak mau.”

“Astaga, kenapa begitu sulit bagimu untuk bergabung?” Dante tidak bisa lagi menahan komentar. “Kalau kau sebegitu tidak sukanya padaku, aku yakin Salvatore mau mengajarimu. Habiskan waktumu dengan penyihir itu.”

"Dia seribu kali lipat lebih baik daripada kau," tegasku. Kalau tidak ada Roan, bisa dipastikan aku dan Dante sudah saling cekik.

“Jangan bertengkar di kantorku.” Roan memijat dahinya. “Ya, kalau kau memang dekat dengan Benedictus, aku akan membebastugaskannya dari urusan menjaga pulau sehingga ia bisa mengajarimu. Kuakui dia salah satu yang terbaik.” Roan kembali menatap Dante. “Meski tidak sebaik Dante.”

“Aku tidak perlu pelatih sebaik Dante,” kuucapkan namanya seperti meludah. “Sekalipun aku mau bergabung, aku tidak bisa—” Pintu terbuka. Kami bertiga sama-sama menoleh.

“Tolong ketuk sebelum—” Roan tak selesai menegur begitu dia sadar siapa yang memasuki kantornya. Dante yang paling sigap, segera menarik belati dari sabuk di pinggangnya dan menyiagakannya di samping tubuh.

“Hati-hati dengan itu.” Immy menatap belati Dante. “Kau tidak mau perang terjadi lagi, 'kan?”

Sahabatku kembali ke gaya berpakaiannya yang warna-warni: jaket hijau neon, celana selutut merah muda neon dengan garis-garis putih, sepatu ungu dan kaus kaki jingga. Bukan gaya berpakaian yang tepat kalau dia mau bernegosiasi untukku.



IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang