[42]

634 141 20
                                    

Setelah nyaris mengamuk seperti orang kerasukan, tak butuh waktu lama bagiku untuk tenang kembali. Kurasa kekesalanku pada Imrie tidak bisa mengalahkan keinginanku untuk bebas.

Imrie memegang peran besar dalam rencana yang telah disusun; artinya kami harus mempercayai gadis itu sebab untuk sekarang, dialah yang punya sihir paling mumpuni untuk mengacaukan rencana Asmodeus. Imrie pergi lebih dulu untuk menghadiri upacara. Aku dan yang lainnya menyelinap keluar, menyusul ke lantai bawah. Tidak ada satu pun penyihir repot-repot mengawasi empat remaja yang bisa ditumbangkan dengan mudah.

"Tolong jangan pingsan lagi," Amethyst memperingatkan Dante. "Kau tidak tahu betapa berat tubuhmu itu."

"Aku lebih mengharapkan ucapan terima kasih karena kalau tanpa aku, kita tidak bakal selamat," balas Dante.

Aku memutar bola mata, tak bisa menahan diri untuk menjawab, "Kalau bukan karena kau, kita mungkin bisa kabur. Kurasa kau sebaiknya melatih sihirmu setelah semua ini selesai."

Ben yang sedari tadi diam menyeletuk tanpa kuduga, "Aku mau-mau saja jadi pelatihmu, loh."

"Tidak!" Dante menghardik pelan. "Aku tidak sudi diajar olehmu."

"Oke, oke, kurasa berdebatnya sudah cukup," aku menengahi Kami kembali bergerak tanpa suara ke lantai bawah. Ben memimpin barisan kami, aku mengikuti di belakangnya, disusul oleh Amethyst dan Dante. Kami semakin dekat dengan pintu menuju ruang bawah tanah. Nampaknya Imrie sungguh-sungguh menjalankan tugasnya untuk membersihkan jalan.

"Di mana Asmodeous?" tanya Amethyst. "Aku tak ingin kita melewati tangga menuju ke bawah dan malah bertemu dengannya."

"Jangan berkata begitu," kataku. "Biasanya bakal jadi kenyataan."

"Jangan menakut-nakutiku!"

"Oh, rupanya kau bisa takut, ya?" Aku tak bisa menahan diri berkata demikian. Amethyst meninju bahuku cukup keras sampai aku mendesis dan membalikkan kepala ke arahnya.

Di belakang Amethyst, aku tidak melihat Dante. "Ke mana Dante?"

Kami bertiga kini melihat ke belakang dan terdiam sebentar, berharap Dante hanya tertinggal dan segera menyusul. Namun tak ada waktu lagi. Kami harus bergegas.

Amethyst yang duluan melihat ke depan dan langsung terkesiap. Aku mengikuti arah pandangnya dan baru sadar bahwa Ben juga telah lenyap. Tanpa perlu diberi tahu, kami berdua langsung berpegangan, takut mendadak menghilang.

"Apa-apaan ini," bisiknya. "Apa kita ketahuan? Apa temanmu berkhianat?"

Aku menggeleng bingung, tak tahu harus menjawab apa. Kami berdua tetap berjalan maju, kini semakin mempercepat langkah menuju bawah tanah. Kalau Ben dan Dante menghilang secara tidak wajar, berarti kami sudah ketahuan dan tak ada gunanya mengendap-endap.

Bersama-sama, kami menyusuri tangga menuju ruang bawah tanah. Amethyst terlalu tegang sampai hampir meremukkan tulang tanganku. Aku melepaskan tanganku darinya dan memilih memegang pergelangan tangannya. Dia tak bertanya soal tindakanku. Deru napas kami berdua terdengar keras di tengah kesunyian. Rasanya butuh waktu seabad untuk tiba di anak tangga paling bawah, padahal kami sudah berjalan secepat mungkin.

Sesampainya di bawah, kami langsung disambut dua orang. Mereka tidak berusaha menangkap kami. Malah mereka mempersilakan kami bergabung. Melawan pun bisa dikatakan percuma karena kami melawan puluhan orang berkekuatan sihir.

Kedua tanganku bergetar hebat, bahkan embusan napasku yang tidak beraturan bisa terdengar jelas. Ben dan Dante sudah berada di sisi lain ruangan. Entah karena ulah siapa, mereka berhasil ditahan lagi dan tak sadarkan diri. Barangkali sejak awal aksi mengendap-endap kami sudah diawasi oleh salah satu pengikut Asmodeus dan kini dia hanya sedang mempermainkan kami.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang