[4]

969 182 12
                                    

Berada di tempat dengan suasana baru membantuku menemukan beberapa ide untuk ceritaku. Aku mulai menuangkannya ke dalam buku tulis yang kubawa, merancang karakter-karakter lain selain karakter utama dan berhasil menghasilkan beberapa karakter dengan detail yang cukup baik. Proses tersebut berlangsung sampai menjelang malam sehingga kuputuskan untuk mandi demi menyegarkan diri. Sesudahnya, saat hendak berpakaian, seseorang mengetuk pintu.

“Mau mengingatkan saja, kau tidak bisa pakai baju model seperti itu kalau mau ke pesta musim panas,” ucap Immy, menunjuk celana jeans dan kausku. Berkatnya, aku baru ingat kalau kami punya rencana jalan-jalan.

Immy menyerahkan tunik biru dengan rompi dan celana panjang cokelat. Modelnya cocok dengan tas selempang kecilku yang berwarna cokelat. Syukurlah aku tidak bawa tas dengan warna mencolok.

Setelah berpakaian ulang, aku keluar untuk mencari Immy.  Kamarnya terpisahkan beberapa ruangan dari kamarku. Pintunya terbuka agak lebar sehingga aku bisa melihat dirinya di dalam, sedang memilah-milah pakaian.

Kuketuk pintu kamarnya, “Kapan kita akan berangkat?”

“Sebentar lagi.”

“Oke."

Dilihat dari kerisauan di wajah Immy, pastilah dia sedang pusing memilih baju yang sesuai dengan selera hatinya. Berada di Andarmensia membuatnya terpaksa memilih pakaian yang tidak terlalu mencolok.

Immy meneleportasikan kami ke hutan, dan karena jarak yang ditempuh masih berada dalam satu dimensi, kami tiba dalam keadaan baik-baik saja. Setelah beberapa menit berjalan, barulah kami tiba di tujuan utama kami.

“Seberapa jauh pulau pamanmu ke tempat ini jika ditempuh secara manual?”

“Kalau naik kapal, bisa berhari-hari," jawab Immy.

Keramaian terdengar kian dari tempat kami berdiri. Cahaya lampu-lampu kota terlihat lebih jelas. Musik semakin mengeras—bukan jenis musik disko atau musik modern. Lebih ke musik instrumental seperti biola dan seruling—dan sayup-sayup suara manusia turut memenuhi pendengaranku. Aku menoleh ke arah Immy, langsung menyadari perubahan warna matanya yang semula kuning dan biru menjadi kecokelatan.

Kemampuannya itu membuatku keheranan. “Kenapa tidak kau samakan warna matamu waktu ke duniaku?”

“Kukira manusia di bumi tidak masalah melihat yang seperti ini. Malah mereka menganggapnya keren, 'kan? Taruhan, pasti kau menganggapnya keren juga,” dia berucap penuh percaya diri. Harus kuakui, Immy tidaklah salah karena heterokromia yang dialaminya adalah hal terkeren bagiku sebelum mengenal dimensi lain. “Di Andarmensia, semua orang tahu bahwa penyihir adalah satu-satunya ras yang mengalami heterokromia. Mereka bakal panik."

Lentera hias menggelantung di atas kami. Kalau bukan karenanya, aku tak akan memperhatikan langit malam berbintang yang kelihatan sangat jelas di atas kami, seperti taburan permata di atas kain hitam, ditemani bulan sabit yang bersinar lembut. Walau kelap-kelip bintang agak tersaingi oleh lentera hias, setidaknya pemandangan indah itu masih bisa dinikmati. Di New Orleans, sulit melihat langit malam yang indah gara-gara polusi cahaya.

“Berhentilah membuka mulut seperti orang tolol.” Immy mendorong rahangku agar menutup.

“Kau tidak bilang langit malam di sini sangat indah.”

“Di pulau akan tampak lebih indah. Selagi di sini, nikmati aja yang ada. Biasanya banyak barang-barang unik yang dijual.”

“Apa mereka menjual buku?”

Immy terkekeh  “Yang benar saja. Kau jauh-jauh melintasi ruang dan waktu cuma untuk mencari buku?” ejeknya.

Aku hanya tersenyum masam, walau ucapan Immy ada benarnya. Kami melihat kios yang ada satu per satu. Seperti kata sahabatku, orang-orang di sini menjual barang-barang yang terbilang unik, seperti lampu tidur bercat warna-warni, lonceng angin, jam pasir dengan ukiran-ukiran detail yang indah, jam dinding dengan burung kukuk, hiasan bunga-bunga kering, perhiasan, dan masih banyak lagi.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang