[2]

1.1K 201 20
                                    

Saat aku di sekolah keesokan harinya, Immy tak tampak di mana pun. Di tengah lautan manusia berpakaian normal, tidak kutemukan pakaian cerah penuh warna yang biasanya Immy kenakan, menjadikan sekolah ini terasa hitam-putih tanpa kehadirannya.

Setelah pidato singkat di aula oleh kepala sekolah, kami resmi memulai libur musim panas. Aku mendengar segerombolan gadis bicara keras-keras soal rencana liburan mereka ke Hawaii. Sekelompok pemuda nimbrung dan tampaknya mereka akan ikut juga. Di sisi lain, seorang gadis  membicarakan soal liburan ke rumah keluarga dan betapa tak sabarnya dia untuk mendatangi peternakan sapi milik kakeknya di Selandia Baru.

“Cassie!” Seseorang memanggilku dari belakang. Gerombolan teman-temanku dari klub buku berjalan mendekat. “Kau ada rencana apa selama libur musim panas?”

Aku mengedikkan bahu. “Belum tahu. Kenapa?”

“Oh tidak, hanya memastikan. Siapa tahu kami ada rencana untuk nonton film atau jalan-jalan, kami bisa mengajakmu.”

Tawaran itu tidak buruk. Minimal Mom akan merasa lebih tenang kalau tahu aku bukanlah anak yang kurang pergaulan seperti dugaannya dan masih diajak pergi jalan atau nonton. “Tenti. Kudengar banyak film bagus di musim panas ini.”

“Omong-omong di mana Casimir?” tanya seorang gadis diantara mereka seraya mencari-cari ke sekitar.

Tanganku meremas tali tas. Tiba-tiba kegelisahan melandaku karena ketidakhadiran Immy. “Entahlah. Aku belum melihatnya sejak tadi."

Sebuah denting samar terdengar dari ponselku. Pada bagian layar, terdapat sebuah pesan dari Immy.

Gak bisa masuk. Sedang demam.

Demam? Dahiku mengernyit. Kemarin dia baik-baik saja. Kenapa hari ini demam?

Aku segera berpamitan dengan teman-temanku dan memacu langkah keluar dari sekolah. Kudatangi apotek terdekat untuk membeli obat demam. Tak lupa juga kubeli bubur kemasan di toko swalayan untuk Immy. Sambil melangkah menuju halte bus, aku mencoba menelepon gadis itu. Tidak ada balasan. Teleponku dialihkan ke pesan suara.

Ini Imrie Casimir. Tinggalkan pesan.

“Hei, Immy. Kau sakit atau semacamnya? Kuharap kau belum mati. Aku akan datang ke apartemenmu.” Aku menaiki bus dan segera menempati kursi kosong. “Jadi, kalau saat ini kau sudah sembuh dan sedang sibuk melukis model telanjang, sebaiknya segera telepon balik supaya aku tidak sembarangan masuk ke kamarmu.” Pesanku berakhir.

Sesampai di apartemen Immy, aku harus berlari lagi demi mengejar lift. Seorang pria di dalamnya justru mengabaikan seruanku untuk menahan pintu lift dan sibuk dengan ponselnya. Aku berhasil masuk dengan napas terengah-engah dan pria itu hanya melirikku sebentar lalu kembali ke layar ponsel. Selama kami di dalam, aku menahan diri untuk tidak menendang wajahnya.

Syukurlah aku tiba duluan di lantai tujuanku. Tergesa-gesa, aku setengah berlari ke tempat Immy sambil mencoba memeriksa ponsel, siapa tahu ada pesan darinya. Tanganku bersiap memencet bel, tetapi terhenti tatkala cahaya biru bersinar dari sela-sela di bawah pintu. Kuharap Immy tidak mengadakan disko atau semacamnya. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam, tetapi bukannya mendengar musik pesta, aku malah mendengar suara adu mulut antara dua orang.

Aku bisa mendengar suara Immy, kemudian suara berat seorang pria, diikuti kegaduhan yang membuatku berjengit.

"Immy?" Aku berteriak. Kugedor pintu sambil mencoba membukanya, tetapi terkunci dari dalam. "Immy?!"

“Mencari siapa?” seorang perempuan melangkah ke arahku dengan tatapan bertanya-tanya.

“Ah, temanku,” aku menjawab singkat.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang