Terhitung sudah seminggu lebih aku menghabiskan waktu di Andarmensia. Rutinitasku kurang lebih sama tiap hari: bangun tidur, kemudian menjadi satu-satunya orang yang paling lambat dalam hal berlari, mendapat hukuman karena terlambat datang, kemudian berlatih bersama Ben. Di sela-sela istirahat, kugunakan waktu untuk memperkuat mental dengan mendengar celotehan serta hinaan harian Beast.
Harus kuakui, semakin sering mendengar hinaan naga itu, ada dua hal yang bisa terjadi. Antara menjadi gila atau menjadi bijak. Aku memilih opsi kedua. Setiap ejekan yang Beast lontarkan hanya kubalas dengan tawa, dengan diam, atau tidak kudengarkan sama sekali. Kalau aku sudah hampir meledak, aku membayangkan segelintir sikap manis Beast terhadapku. Aku cukup yakin dibalik sikap menjengkelkan Beast, naga itu pasti sangat sayang padaku dan berpikir demikian sering membuatku tersenyum tanpa sadar sampai-sampai menjadi sasaran cercaan Beast lagi.
Sekarang sedang istirahat makan siang. Aku dan Beast bersantai di teluk. Iseng-iseng kutuliskan beberapa hal di atas pasir dengan ranting. Beast, terlepas dari wajah sok cueknya, tetap tak bisa menahan rasa penasaran. "Apa itu?"
"Ini namaku," aku menunjuk salah satu tulisan.
"Kumpulan guratan mirip cacing ini adalah namamu?" tanyanya.
"Ini namanya huruf. Lihat ini. C-A-S-S-I-D-Y. Coba kau tulis."
"Buat apa?" protesnya.
"Kalau tidak mau, ya, sudah." Meski demikian, diam-diam Beast mencoba menulis namaku dengan cakarnya. Entah untuk apa, yang jelas setiap kali melihat tulisannya terlalu jelek—tulisannya memang sangat jelek—dia akan menghapusnya dengan kasar dan terus mencoba sampai mendapat hasil terbaik. Pemandangan tersebut lumayan menghiburku.
Kami kembali ke tempat latihan setelah waktu rehat usai. Sejak lima hari yang lalu, Ben mulai melatihku cara bertarung dengan pedang dengan dia sebagai lawan. Serangan pedang kayunya sukses mengakibatkan memar ringan di beberapa bagian tubuhku. Lalu sudah tiga hari belakangan Ben turut menambahkan perisai dalam latihan kami. Benda itu ternyata lebih berat dari dugaanku, dengan berat hampir dua kilogram. Alih-alih membantu melindungi diri, tubuhku justru sering oleng karenanya.
"Kau masih bertarung di darat," ceramahnya, ketika aku mulai mengeluh. "Ke depannya, kau akan berlatih bertarung di atas nagamu, yang berarti kau harus berdiri di atasnya, atau mungkin melompat dari nagamu," dia memaparkan satu per satu materi latihanku. "Sekarang, pegang perisainya dengan benar."
Ben kembali memasang posisi bertarung, kemudian menyerang. Gerakannya lebih cepat dari kemarin, membuatku kelabakan. Aku terus bergerak mundur, mengandalkan perisai untuk melindungi diri dari hantaman pedang.
"Maju, Cassidy," geramnya. "Kalau di belakangmu jurang, kau sudah mati."
Aku ingin membalas, tetapi perbuatan lebih berarti daripada ucapan. Kucoba menangkis pedangnya dengan pedangku, membuat dua bilah kayu beradu. Kugunakan perisai dan pedang secara bergantian untuk melindungi diri. Beberapa kali peganganku pada salah satu benda itu kurang mantap, membuatnya hampir tergelincir jatuh.
Baru sebentar berlatih, napasku sudah ngos-ngosan. Aku memaksakan diri bertahan lebih lama lagi dan berujung mendapat serangan telak di kepala. Pedang kayu Ben memukul bagian depan kepalaku cukup kuat. Langsung saja aku terjatuh dan kedua benda di tanganku terlepas begitu saja.
"Oh, dewa. Kau baik-baik saja?" Dia berlutut di depanku. "Sudah kubilang, pegang perisainya dengan benar."
"Mudah saja mengatakannya pada gadis pemalas yang baru-baru ini belajar cara menggunakan pedang," gerutuku.
Beast menggeram ke arah Ben dari belakang. Aku melambaikan tangan ke arahnya, mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja dan tidak mau dia berbuat aneh-aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...