Di hari pameran, aku datang terlalu awal. Galeri itu hampir sepi dan baru beberapa pria berjas serta perempuan bergaun elegan tengah memandangi lukisan-lukisan yang dipamerkan. Aku memandangi pakaianku yang hanya berupa kemeja putih dengan celana jeans, dilengkapi tas selempang kulit. Rambutku diikat kucir kuda seperti biasanya.
Aku tidak melihat Immy di mana pun, jadi kukelilingi galeri itu sambil melihat-lihat karya yang dipamerkan. Ada beberapa lukisan dengan aliran impresionis namun bukan punya Immy. Aku menemukan lukisan gadis itu setelah hampir mengelilingi seisi galeri.
Immy melukis naga. Pemikiran bahwa seorang penyihir melukis naga memang mengejutkanku. Dia melukis naga hitam yang kami temui, dan dia juga melukisku, duduk di seberang sungai kecil yang memisahkanku dan naga itu. Naga di dalam lukisan itu punya sayap, tengah menatap ke arah diriku yang ada di lukisan.
“Bagaimana?” Suara Immy membuatku berbalik ke arahnya. Kalau rahangku bisa lepas, pasti sudah jatuh saat ini. Sekian tahun melihat Immy berpakaian meriah, hari ini dia hanya memakai kaus lengan panjang berwarna merah marun dengan celana panjang hitam, dipadu dengan sepatu kets hitamnya. Rambutnya yang panjang dikepang satu.
“Siapa kau ini?” Aku hampir tak bisa menahan tawa. “Oh Tuhan, ada apa denganmu?”
Immy mengulas cengiran. "Sedang tidak ingin menarik perhatian. Bagaimana dengan lukisannya?”
Aku melihat lukisan itu sekali lagi, mengagumi setiap sapuan kuas di kanvas berukuran tiga puluh kali empat puluh itu. “Menakjubkan. Kau yakin tidak ingin menjualnya?” Aku sedikit menyingkir ketika orang-orang hendak melihat lukisan Immy.
“Di pameran berikutnya, aku akan menjual lukisanku," Immy mengulang jawaban yang sama.
"Kalau aku minta, apakah kau akan memberinya?"
Salah satu alisnya terangkat. "Kupikir kau tidak akan pernah meminta."
Seorang pria melihat lukisan itu, mengamati detailnya dengan cermat. Kemudian ia menoleh ke arah kami. “Apa lukisan ini dijual?"
"Yang satu ini bukan untuk dijual, sir,” balas Immy.
“Dia pelukisnya,” aku menambahkan sambil menunjuk Immy, mengabaikan pelototannya. Pria tua itu mengangguk-angguk. Yang selanjutnya terjadi, dia dan Immy malah bicara akrab mengenai seni. Merasa tak memahami apa yang mereka bicarakan, aku berjalan pergi, melihat-lihat karya lain.
Pameran seni memang bukan tempat yang akan kukunjungi kalau bukan karena Immy. Aku ingat saat berada di Sekolah Menengah Pertama, guru seniku, Mr. Frank, menyuruh kami mengunjungi pameran lukisan yang tidak terlalu ramai pengunjung. Kami disuruh mencari tiga lukisan dan menjelaskan makna yang terkandung di dalam masing-masing karya. Bukan tugas yang mudah karena aku harus mengerahkan imajinasi untuk menemukan makna dari lukisan-lukisan tersebut.
“Tidak kusangka kita bertemu lagi,” ucap seseorang dari samping. Rupanya itu perempuan yang kutemui di hari Immy dan orangtuanya bertengkar di apartemen. Dia mengenakan blus putih dengan celana panjang hijau tua. Rambutnya ditata dalam sanggul yang rapi.
“Ma'am,” aku menyapanya sopan, “Anda penggemar seni?”
“Hanya iseng berkunjung.” Ia mengamati lukisan di depan kami sejenak lalu tersenyum ke arahku. “Ikut aku,” ajaknya. "Ada yang ingin kutunjukkan."
Aku bertanya-tanya apa yang ingin dia bicarakan karena kami justru berjalan ke lorong yang lebih sepi, bisa dibilang tak ada orang sama sekali. Malahan, aku dan perempuan ini agak menjauh dari kegiatan pameran yang berlangsung.
"Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur, tapi sulit menahan diri," ungkapnya.
"Maaf?" Aku mengernyit. "Maksudnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...