Malam sebelum ujian masuk sekolah menengah atas, aku seharusnya tidur nyenyak. Nampaknya orang tuaku tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Teriakan demi teriakan terus terdengar dari Dad, dibalas oleh Mom. Granny juga terbangun, memutuskan untuk keluar.
Aku masih terbaring di ranjang, hampir tak berani bergerak. Pintu kamarku kembali ditutup dan argumen masih berlanjut.
Aku mendengar tangisan Mom. Seumur hidup, aku tidak pernah merasakan ketakutan senyata malam itu; satu-satunya ketakutan yang membayangiku lebih dari apa pun.
Aku turun dari ranjang perlahan tapi tidak berani melangkah keluar. Yang kulakukan hanyalah duduk di ranjang Granny dan menunggu.
Dad sering mengatakan hal buruk di depan Mom, tapi ini yang terburuk. Aku mulai menangis, berusaha menahan isakan. Ingin rasanya aku keluar dan berteriak agar mereka diam. Sayangnya, ketakutanku menang telak malam itu.
Kudengar suara pintu terbuka keras dan terbanting. Kemudian tanpa kuduga, pintu kamarku dibuka perlahan. Mom masuk.
"Kenapa kau menangis?" Mom berjalan ke arahku. Isakanku semakin keras. Granny menyusul Mom masuk ke dalam kamar.
"Oh, Sayang." Granny memelukku. "Tidak apa-apa. Sudah, kau kembali tidur saja."
Aku masih terisak. Dalam benakku, aku sudah berpikir macam-macam. Mungkin Mom dan Dad akan bercerai. Pada waktu itu aku sangat marah, aku ingin meneriaki mereka, menuduh bahwa mereka tidak sayang padaku lagi. Semakin hari, aku semakin sadar bahwa hal tersebut di luar kendaliku, dan aku sendiri tidak ingin lagi Mom dan Dad tetap bersama setelah kejadian tersebut.
Masuk SMA bukanlah hal yang menyenangkan pada awalnya. Selain karena orang tuaku bercerai, teman baik semasa sekolah menengah pertamaku hilang tanpa kabar. Bayangkan saja, masa peralihan justru terjadi dengan begitu banyak beban tanpa seorang pun yang bisa diajak bercerita.
Kemudian, aku bertemu Immy. Setelahnya, segala sesuatu terasa lebih baik. Kuharap bisa tetap berada di masa-masa menyenangkan itu, tetapi, mataku kemudian terbuka dan segala sesuatu lenyap dari pandangan.
Bangun dari tidur, setelah mimpi yang terasa begitu panjang, membuatku cukup lega. Fakta bahwa semua itu sudah berlalu membuat dadaku lebih lapang, sekalipun ada beban yang tidak bisa kuusir, hanya kukubur dengan harapan tidak akan muncul lagi. Namun, berhubung aku punya masalah lain saat ini, dengan mudahnya kudorong ingatan-ingatan tadi ke pojok terjauh benakku.
Jam dinding telah menunjukkan pukul empat lewat lima menit. Aku ingin kembali tidur, tapi yang kulakukan malah sebaliknya. Hari ini, aku ingin mengambil awalan lari pagi lebih cepat dibandingkan yang lain. Seusai berpakaian, aku berlari ringan ke arah kandang naga dan memulai perjuangan pagi hariku.
Seperti biasanya, belum sampai setengah putaran, aku sudah kehabisan napas. Saat sedang beristirahat, Beast mendarat di belakangku. "Kau pasti bukan Cassidy, 'kan? Soalnya dia tidak mungkin bangun sepagi ini untuk olah raga. Dia, kan, pemalas."
"Selamat pagi juga, Beast," sapaku singkat sebelum lanjut berlari. Dengan mudahnya Beast menyusul karena dia punya langkah kaki yang lebih lebar.
"Pasti ada sesuatu yang membuatmu bangun lebih awal. Yang jelas bukan karena kau termotivasi untuk menjadi lebih rajin."
"Aku cuma tidak bisa tidur lagi."
"Karena?"
"Mimpi buruk." Karena lelah, aku berhenti sejenak, memutuskan untuk berjalan pelan. Sedikit lagi, hatiku berkata demikian tiap kali aku hendak menyerah. Beast tidak mengajakku bicara lagi. Dia hanya ikut berjalan di sampingku.
Akhirnya, setiba di akhir putaran, Beast kembali bersuara, "Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke teluk?"
"Wah," aku berusaha menormalkan napasku, "sekarang kau jadi baik."
"Jalan-jalan di teluk bakal menceriakan suasana hatimu." Dia melangkah ke depan dan berdiri menyamping, menungguku naik ke atas punggungnya.
Setelah napasku kembali teratur, barulah aku naik ke punggung Beast. Kami mulai mengudara di bawah langit yang masih gelap.
Harus kuakui, sia-sia saja kami tiba di teluk. Segala-galanya masih tak tampak. Kendati demikian, aku bisa mendengar deru ombak yang tak pernah diam, serta empasan lembut dari air laut yang menyapu pantai.
"Kita bisa menghabiskan banyak waktu di sini, kalau saja kau tidak punya jadwal latihan," gerutunya. "Belum lagi kau begitu takut terlambat. Padahal kita bisa biarkan saja bocah berdarah campuran itu menunggu."
"Bukan kau yang dihukum kalau terlambat," sindirku.
"Buat apa takut padanya? Sekali-kali lawan dia. Kau itu penunggang iltas."
"Penunggang iltas yang bahkan tidak bisa berlari mengelilingi kandang naga."
"Hei, kau ini tidak ada bedanya seperti bayi naga yang baru lahir. Memang, sekarang kau masih lemah, tetapi nantinya kau akan tumbuh kuat seperti naga dewasa," Beast mengingatkan seraya mendudukkan diri di atas pasir pantai. "Karena itu, semangatlah sedikit. Jangan buat aku malu."
Kata-kata motivasi berbalut sindiran yang khas itu tidak terlalu buruk. Entah kenapa kalau Beast yang mengucapkannya, aku jadi merasa lebih baik. Tapi, apakah aku bahkan punya waktu sebanyak itu untuk latihan selayaknya penunggang naga pada umumnya?
"Akan kuusahakan," akhirnya aku menjawab. "Omong-omong, apa tidurmu nyenyak semalam?"
"Aku tidak tidur."
Kutolehkan kepala ke arahnya. "Tidakkah kau lelah?"
"Aku biasanya terlelap saat kau latihan. Di malam hari, aku akan tidur selama beberapa jam, lalu jalan-jalan sejauh mungkin dari pulau ini."
"Kau terbang ke mana?"
"Ke mana saja yang bisa kukunjungi." Untuk ukuran naga yang selama seabad lebih tidak pernah terbang, aku memaklumkan tindakannya.
"Bagaimana rasanya bisa terbang?" tanyaku.
Beast mengembuskan napas cukup keras. "Oh, tidak ada bahasa yang bisa menggambarkan rasanya. Kebebasan, rasa lelah di pangkal sayap yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dunia yang mengecil di bawahmu; semuanya baru, namun juga terasa familiar dengan cepat seakan aku memang dilahirkan untuk ini."
"Kau memang dilahirkan untuk ini," aku menyetujui. Membayangkan rasanya bebas seperti Beast membuatku merasakan sensasi nyaman. Aku membayangkan rasanya menjadi Beast, memiliki sayap setelah sekian lama dan menjalani hidup sejatinya sebagai seekor naga. "Kau belum pernah terbang sejak lahir?" tanyaku.
Beast menggeleng. "Kurasa terakhir kali aku punya sayap adalah saat sedang belajar terbang," balasnya, terdengar sendu. Dalam diriku, muncul keinginan untuk bertanya lagi mengenai bagaimana Beast kehilangan sayapnya. Akan tetapi, kupilih untuk menahan diri daripada merusak momen ini.
Langit semakin terang. Kami hanya duduk memandangi cakrawala, menikmati deburan ombak yang terdengar bak lagu di telinga. Aroma laut memenuhi paru-paruku dengan keasinannya yang khas dan menyegarkan. Aku tak peduli meski tubuhku kotor oleh pasir atau fakta bahwa aku tidak menyukai pasir. Kusandarkan tubuh kepada Beast. Sayap naga itu mengelilingiku, membuatku merasa lebih hangat dan terlindung dari terpaan angin yang semakin menusuk tulang.
Di sini hanya ada kami. Tidak ada Mom atau Dad. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada perpisahan. Tidak ada rasa takut.
Untuk sekali ini, kubiarkan diriku melupakan masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...