Orang-orang berbaris keluar dengan teratur. Aku mengangkat tangan ke kepala, menghalangi cahaya dari mataku. Samar-samar terdengar suara geraman, kemudian raungan. Kapal berlabuh semakin dekat dengan dermaga dan dari tempatku berdiri, aku melihat sebuah pulau.
Naga berterbangan di mana-mana, memenuhi pesisir pantai; berdiri di tebing bersama seseorang di samping mereka. Napasku tercekat tatkala melihat apa yang selama ini ingin kulihat. Kapal semakin mendekat dan aku bisa melihat detail wajah para naga dengan lebih jelas.
"Ayo jalan," suruh seorang awak. Sebuah papan ditaruh sebagai penghubung kapal dan dermaga dan kami turun berbaris. Aku tidak tahu kenapa dengan patuhnya aku mengikuti perintah, padahal seharusnya aku memberontak. Mungkin aku sadar bahwa memberontak tidak akan memberi banyak bantuan.
Kami melewati para penunggang yang kelihatan sama seperti manusia biasa. Bedanya, mereka punya naga yang ikut menatap kami. Bukan jenis tatapan yang menyenangkan, kalau harus kuakui. Seolah kami hanya makhluk golongan dua yang hina—kurasa kenyataannya memang demikian. Aku memilih memalingkan wajah, menatap pundak orang di depanku. Jantungku berdebar tak nyaman, membuat dada terasa amat sesak. Aku mencoba mengatur napas, berusaha untuk tidak panik.
Dari samping, Giselle mengusap bahuku. "Kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat."
"Tidak apa-apa," dustaku. Waktu sehari pun tidak akan cukup untuk mengungkap seberapa besar amarahku karena dipaksa masuk dalam situasi ini.
"Jangan takut. Kau akan terbiasa," kata Giselle. "Aku sudah dengar banyak cerita orang yang bekerja di sini. Tidak buruk-buruk amat."
Walau 'tidak buruk-buruk amat', tapi pasti ada buruknya, gerutuku dalam hati.
Kami digiring ke sebuah tempat tinggal para pekerja, yang terletak di sebelah sebuah bangunan besar.
"Tempat apa itu?" tanyaku, menunjuk ke arah bangunan besar berbentuk hampir seperti koloseum di samping tempat tinggal kami.
"Tidak tahu juga," balas Giselle, terlihat sama penasarannya. "Nanti kita bakal tahu."
Tempat tinggal kami dibagi menjadi dua. Perempuan mendapat bagian di sebelah timur sementara pria di bagian barat. Begitu memasuki ruang tidur, berlusin-lusin ranjang tingkat tertata dalam jarak yang sempit. Tak ada waktu untuk istirahat. Baru saja aku duduk di ranjang, seorang perempuan datang, menyuruh kami berbaris rapi, dan membacakan tugas kami.
Aku dan Giselle berpisah. Sementara ia ditugaskan di dapur, aku ditugaskan ke bangunan besar di sebelah tempat tinggal kami, yang ternyata merupakan kandang naga. Bangunan itu sangat luas, memiliki empat lantai dan tak memiliki langit-langit supaya bisa digunakan sebagai jalan masuk naga. Kandang dibuat melingkari bangunan, sehingga bagian tengahnya kosong.
Kulihat pekerja yang sudah lama bekerja di sini tengah menyikat naga dengan tenang. Tatapan para naga mengikutiku. Sesekali mereka menggeram, entah karena wajahku yang asing bagi mereka atau mereka menggeram karena ingin menerjang troli kecil berisi daging. Aku mengecek nomor kandang yang harus kuisi dengan daging dan mengeluh dalam hati, meruntuki jalan nasibku saat ini.
Aku tiba di salah satu kandang di lantai dua tanpa kesulitan—syukurlah para penunggang cukup cerdas untuk membuat jalan melingkar yang bisa dilalui troli menuju lantai atas alih-alih membuat tangga. Perhatianku teralih sesaat pada cahaya matahari menerangi kandang, menunjukkan garis-garis cahaya. Para naga masuk secara bergantian, beberapa bersama penunggang mereka. Kuperhatikan tiap naga yang ada dalam pandanganku, semuanya berukuran kurang lebih sama. Kira-kira sedikit lebih tinggi dari kuda. Meski tak sebesar naga di film-film, otot tubuh dan sayap kokoh naga-naga di tempat ini tidak boleh diremehkan.
Aku menatap kandang yang kosong tanpa naga dan memposisikan troli di sebelahku. Kupindahkan daging dari troli ke wadah makan yang disediakan sambil menghirup bau anyir darah yang menusuk hidungku. Biasanya kalau sudah lelah dengan keadaan, rasa jijikku akan hilang. Orang bisa menyuruhku memakan daging mentah ini dan akan kulakukan tepat di depan wajah mereka dengan wajah datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...