[23]

663 136 3
                                    

Kurasa kata-kata Beast mulai sedikit mempengaruhiku. Waktu telah berlalu dan sulit rasanya beranjak dari tempat ini.

“Sayang sekali ini bukan arah timur,” Beast kembali memulai pembicaraan. “Kau tidak mau lihat matahari terbit?”

Aku menggeleng pelan. “Terlalu malas untuk berpindah tempat."

“Ternyata kau masih saja pemalas,” gerutunya. “Omong-omong, kau tidak pergi latihan? Si bocah bakal menghukummu.”

"Tidak masalah," gumamku. "Aku hanya ingin di sini sedikit lebih lama."

"Oh, Cassie, kau tahu aku suka melihatmu dihukum, makanya kau sengaja berlama-lama," Beast asal menebak dengan nada tersanjung.

Aku berdecak kesal. "Bukan begitu."

"Atau kau akhirnya sadar bahwa penunggang iltas memang tidak boleh ditekan oleh penunggang ur?" Dia terdengar lebih tersanjung lagi.

"Tidakkah kau pikir berada di sini menyenangkan?" tanyaku. "Hanya mengobrol dan menikmati pemandangan? Aku tidak pernah bisa melakukan ini di New Orleans."

"Memangnya tidak ada laut yang bisa dilihat di New Orleans?"

"Well, sebenarnya ada, tapi jauh dari tempatku tinggal. Yang kulihat sehari-hari hanyalah gedung tinggi, keramaian, keributan, dan polusi."

"Polu—apa?"

"Polusi. Sesuatu yang mencemari lingkungan."

Beast mengerutkan dahi. "Entah kenapa aku merasa duniamu mengerikan."

Tidak bantahan yang bisa kuberikan, jadi aku hanya mengedik dengan kedua alis terangkat. "Begitulah."

Beberapa menit telah berlalu, dan walau masih dikuasai oleh rasa malas, mau tak mau aku menaikkan tubuh ke punggung Beast setelah melalui perjuangan berat untuk memaksakan setiap otot bergerak. Meski enggan, Beast tetap membawaku kembali ke padang tempatku latihan. Ben belum sampai, yang artinya, aku tidak jadi dihukum.

“Seharusnya Ben sudah sampai,” aku bergumam heran. Sebagai jawaban dari keheranan tersebut, aku mendengar keributan dari kejauhan. Keramaian terlihat jelas, bahkan dari tempatku berdiri. Semua orang yang ada, bahkan para naga pun, ikut berdesakan di sekitar kandang naga.

“Seharusnya kau bersyukur karena dia belum sampai,” tukas Beast. Dia pun mulai memperhatikan hal yang sama denganku  “Kenapa di sana ribut sekali?”

“Menurutmu kita harus ke sana?”

“Menurutku kita jalan-jalan saja sampai pelatihmu datang,” usul Beast. Setelah mendapat delikan dariku, Beast mengalah, “Ya, kita harus memeriksa keributan yang membosankan itu.”

Beast mendarat di luar kandang, memaksa orang-orang untuk minggir sebelum terinjak oleh kaki raksasa nagaku. Dari posisi kami sekarang, sekalipun dikelilingi oleh massa, aku masih bisa mendengar jeritan dan makian dari dalam kandang. Beberapa penunggang dan naga mereka sedang menyeret seekor naga di lantai paling bawah, sementara seorang gadis menjerit keras di samping naga yang diseret itu. Di sisi lain kandang, kulihat seorang anak laki-laki berusaha melepaskan diri dari orang yang menahannya. Dia mengulurkan tangan ke naganya diiringi tangisan keras.

“Demi Dewa Draig,” ucap pekerja di dekatku. “Malang benar mereka.”

“Sembilan belas naga mati mendadak,” terdengar suara yang lain. “Tidakkah kau pikir ada sangkut pautnya dengan penyihir? Maksudku, bahkan naga-naga itu tidak menunjukkan gejala penyakit atau semacamnya. Semua terjadi dalam waktu semalam.”

“Bocah setengah penyihir itu sudah dibawa kepada Roan. Kudengar dia akan dibawa ke hadapan dewan.”

“Sial sekali dia,” cetus salah satu pekerja. “Kalau ada masalah aneh semacam ini, pasti dia menjadi tersangka utama.”

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang