[18]

681 147 9
                                    

Kupikir aku memimpikan dentang lonceng. Ternyata, suara itu terdengar semakin nyata seiring kesadaranku terkumpul. Aku baru ingat kalau orang-orang di Matumaini menjadikan lonceng sebagai alarm. Belum apa-apa, seisi kamar sudah kosong, meninggalkanku sendirian. Aku baru bisa menyusul beberapa saat kemudian setelah melawan kantuk yang belum kunjung pergi.

Para penunggang selalu pergi menuju kandang naga dan berlari mengelilinginya. Bagiku itu sama saja mengelilingi stadion sepak bola. Aku memulai hari dengan menjadi penunggang naga yang tertinggal paling belakang. Setelah lelah memaksakan diri, aku memilih untuk berhenti. Masa bodoh dengan pendapat orang. Namun segera setelah tenagaku sedikit terkumpul, aku berlari lagi.

"Sudah lelah, eh?" Seorang gadis memperlambat gerakannya, mencoba menyamakan kecepatan larinya denganku. "Kau pasti tidak kenal aku, tapi kita sekamar."

"Oh, hai Teman Sekamar," sapaku dengan suara tercekat seperti orang sekarat. "Kutebak ini sudah putaran keduamu."

"Ketiga, sebenarnya," dia menjawab riang, seakan berlari adalah aktivitas paling menyenangkan. "Duluan, ya. Nagaku pasti sudah menunggu." Dia berlari meninggalkanku yang masih melongo. Langkahnya secepat dan seanggun kijang.

Aku bahkan belum selesai saat semua penunggang menaiki naga mereka dan pergi ke tempat latihan masing-masing. Kalau terus memaksakan diri, barangkali aku akan selesai setelah sarapan berakhir. Maka dari itu, pagi ini aku bersikap curang dengan menyeret diriku menjauh dari kandang naga dan menuju padang rumput. Aku berjalan secepat yang aku bisa, walau perjalanan hari ini terasa lebih sulit dibandingkan biasanya. Menaiki bukit-bukit rendah pun sudah cukup memakan tenaga untuk orang sepertiku.

Sesampainya di tujuan, Ben telah duduk menunggu, kini sibuk mengasah belatinya dengan sebuah batu. Dia hampir tidak menoleh saat aku tiba. Sebenarnya, aku pun tidak menyangka akan melihatnya di sini, terlebih setelah kejadian semalam.

"Maaf... aku... terlambat," aku berkata di sela-sela upaya bernapas. "Tadi itu sangat melelahkan."

Dia mengangguk. "Push-up atau sit-up?"

Aku butuh waktu untuk memprosesnya. "Maaf?"

Ben memasukkan belati ke dalam sarungnya tanpa melihat ke arahku. "Hukumanmu karena terlambat."

"Yang benar saja," protesku. "Aku menghabiskan setengah nyawaku untuk datang ke sini."

"Push-up atau sit-up?" Dia menekan tiap kata. Keduanya adalah yang terburuk, walau masih lebih baik daripada pull-up.

"Push-up," aku memilih, hampir tanpa suara. "Berapa kali?"

"Dua puluh. Ambil posisi."

Aku mengambil posisi seperti yang kuingat. Bahkan guru olahragaku tidak begitu memperhatikan posisi push-up yang kulakukan karena sibuk mengurus siswa-siswi lain. Sayang sekali aku hanya latihan sendiri di sini, sementara penunggang lain berada di arena latihan. Artinya pelatihku akan amat, sangat memperhatikanku.

"Posisi macam apa itu?" cela Ben. "Kakimu harus diluruskan. Kalau tidak kuat, gunakan lututmu. Jarak antar tanganmu terlalu lebar." Dia terus memberi panduan sampai merasa posisiku benar, barulah hitungan dimulai.

Aku bertahan hingga hitungan ke ketiga. Pada hitungan keempat tanganku sudah tidak kuat dan mulai bergetar hebat di hitungan ke kelima.

"Sudah cukup." Ben berhenti di hitungan keenam, yang mana cukup menyedihkan. Akan tetapi di situasi seperti ini, aku lebih menyayangi nyawaku dibandingkan harga diri. Tubuhku terjatuh begitu saja, sementara tanganku bagaikan kehilangan tulang.

Ben memandangiku tanpa ekspresi, "Kau mau istirahat?"

"Tidak usah," tolakku, masih menarik napas. "Latihan apa hari ini?"

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang