[19]

690 153 16
                                    

Cara mencari nagamu yang pergi entah ke mana: tidak ada.

Pulai ini amat luas. Butuh waktu untuk sekadar berjalan keluar dari pusat kehidupan Matumaini. Aku berniat mencari Beast ke tempat-tempat yang kami kunjungi di hari sebelumnya tetapi jaraknya sangat jauh. Kalau Beast tidak cekcok dengan Kaia, aku bisa minta tolong Ben untuk mengantarku.

Aku berjalan lebih jauh hingga jarakku dengan hutan semakin dekat. Kuturuni bukit dan memasuki padang ilalang yang membentang, membelah padang rumput dari hutan. Sambil berjalan, kucoba membiasakan tanganku dengan menggerakkan pedang kayu. Sesekali aku mencoba memanggil Beast, siapa tahu aku beruntung dan dia muncul. Sampai aku mendekati hutan pun, naga itu tak tampak batang hidungnya.

Memasuki hutan, pohon-pohon tinggi menaungiku dari sinar mentari. Suara kercip burung seolah-olah mengisi hutan ini, mengusir kesunyian. Sesekali kulihat pergerakan di dahan yang ternyata hanyalah tupai. Aku menyiagakan pedang kayu di samping tubuhku, meski memakainya saja aku belum bisa. Aku pun tak yakin pedang kayu bisa membantu saat menghadapi serangan. Suasana yang hampir sunyi membuatku tenang sekaligus gelisah.

Aku menoleh ke belakang, menyadari penjelajahanku sudah terlalu jauh. Semakin masuk ke dalam hutan, keinginanku mencari Beast digantikan dengan keinginan untuk menyendiri. Rasanya sangat menyenangkan bisa menjauh dari orang-orang asing di dunia ini barang sejenak.

Keputusanku untuk berhenti mencari Beast memang tepat, karena dari tempatku berdiri sekarang aku bisa melihat tubuh bersisik hitamnya, jauh di depan sana. Ada sebuah bukaan di tengah-tengah hutan dan naga itu tengah beristirahat. Aku melangkah tak sabaran, ingin mendekat untuk memastikan apakah itu Beast atau bukan.

Itu memang Beast. Dia dalam posisi tidur, walau aku yakin dia masih sadar. Salah satu cakar depannya mengetuk-ngetuk tanah.

Aku hanya diam meski sangat ingin marah padanya karena hilang sejak semalam. Lalu aku sadar amarahku hampir tidak ada lagi. Kuputuskan untuk duduk di dekatnya sembari memandang ke atas, menikmati indahnya sinar matahari yang menembus sela dedaunan pohon.

"Komorebi," aku berucap tanpa sadar. Hal itu membuat Beast memutar kepala ke arahku. Gerakannya hampir tak bersuara.

"Apa?"

"Cahaya matahari yang bersinar menerobos dedaunan pohon. Orang Jepang memberinya istilah komorebi."

"Orang Jepang?"

Aku menatap kedua matanya, "Jangan bertanya, penjelasannya akan panjang." Kami berdua diam lagi. Daripada bungkam selama berjam-jam, aku kembali berlatih dengan pedang kayuku. Beast memperhatikan tanpa minat.

"Kau latihan dengan ini sejak tadi?" dia bertanya.

"Tentu saja," balasku, "sayang sekali kau tidak melihatku latihan. Kau pasti akan sangat senang, soalnya aku sempat mendapat hukuman karena terlambat datang."

"Aku lebih senang melihatmu dihajar saat latihan."

"Tenang saja. Kau bakal melihat itu lagi. Kupastikan untuk memberimu tontonan bagus." Aku berhenti menggerakkan pedang. "Kalau kau mau melihatku menderita, berarti kau harus keluar dari tempat semedimu ini."

"Aku tidak bersemedi. Cuma berusaha menjernihkan pikiran," sergahnya.

"Dan kau harus minta maaf pada Kaia setelah pikiranmu jernih," tambahku. "Tidak susah kok untuk minta maaf. Turunkan saja egomu sedikit."

"Aku yakin manusia pun kesulitan menurunkan ego hanya untuk minta maaf."

Aku menaikkan kedua alis. "Terserah kau saja, sih. Aku cuma tidak ingin timbul masalah antara kita dan Ben serta naganya."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang