[35]

609 133 8
                                    

Dibandingkan terkejut karena melihat Ben, orang-orang lebih terkejut melihatku. Mereka lebih kaget lagi saat tahu aku mencari Dante. Pasti momen-momen tidak akrab kami sudah diketahui oleh banyak orang, terlebih setelah insiden penyiraman itu.

Seorang penunggang mengatakan bahwa Dante tengah berada di salah satu arena latihan dan berbaik hati mengantarku ke sana. Aku langsung mengenali Dante dari jauh. Kulihat dia tengah mengajar seorang anak kecil cara menggenggam pedangnya dengan benar. Gerakannya sedikit lebih lembut dibandingkan biasanya, kurasa karena anak yang diajari masih muda. Aku sedikit kasihan karena selama beberapa tahun ke depan, anak itu akan berada dalam bimbingan Dante.

Dengan langkah tergesa, aku berjalan menuju pemuda itu. Dante tidak menyadari kehadiranku sampai anak-anak itu mulai melihatku duluan dan sama-sama tersentak kaget. Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Aku juga bakal terkejut kalau melihat gadis berwajah murung bagai mayat hidup berjalan ke arahku.

“Dante, kita perlu bicara sebentar," aku berkata demikian tepat saat dia menoleh. Reaksinya kaku pada awalnya akibat tidak menduga kedatanganku. 

“Bicara apa?” tanyanya, dingin. Bahkan dia tidak bertanya kenapa aku masih ada di Andarmensia

“Jangan banyak tanya dan cepatlah. Aku tidak punya banyak waktu.”

Dante masih berjongkok dan sibuk membetulkan pegangan pedang pada muridnya lagi. Sampai anak itu bisa memegang dengan benar, barulah Dante mengajakku menjauh.

“Seperti yang kubilang, aku tak punya banyak waktu," ulangku. “Kau yang membunuh naga-naga itu, 'kan?”

Tuduhan tanpa basa-basi itu membuatnya diam cukup lama. Aku terkesan karena Dante masih bisa menatapku dengan santainya. “Kau datang cuma untuk menuduhku yang bukan-bukan? Pasti kehilangan naga sangat sulit bagimu sampai melampiaskannya kepadaku.”

Dia bicara tanpa rasa bersalah sedikitpun, sampai-sampai aku mulai meragukan diriku sendiri.

“Aku bertemu ibumu, Avyana," lanjutku. Untuk yang satu ini, Dante tak bisa berbohong kendati dia telah menahan diri. Keterkejutan nampak jelas di matanya. “Dia seorang penyihir. Tidak usah menyangkalnya lagi.”

Masih saja pemuda ini mendenguskan tawa sinis. “Siapa yang memberitahumu omong kosong itu?”

“Sudah kubilang aku bertemu dengannya, Dante Sage Willson.” Kusebut setiap suku kata namanya dengan penuh penekanan. Di tahap ini, pertahanan diri Dante bisa dibilang hampir runtuh. Aku mengagumi kemampuan mempertahankan raut tenang. “Kalau kau tidak mau mengaku, aku tidak peduli. Yang mau kuberi tahu hanyalah, jangan ikut campur. Apa pun yang Asmodeus suruh, jangan lakukan lagi, Dante. Jauh-jauhlah dari masalah ini.”

Aku berbalik, hendak pergi. Dante menahan tanganku cukup keras.

“Kau tahu dia,” suaranya hampir selirih bisikan. “Kalian pernah bertemu?”

“Mengejutkan sekali karena dia paman dari mantan sahabatku.” Kutarik tanganku dari genggaman Dante. “Dan tidak usah pegang-pegang.”

“Kau mau menemuinya,” tebak Dante. “Beast belum mati, naga-naga lain—”

Tutup mulutmu,” aku mendesis. “Aku tahu nagaku belum mati, aku bisa merasakannya. Kau dan tindakan tololmu membuatku mengira dia sudah mati. Pilihanmu ada dua, Dante: diam atau tetap mengikuti rencana Asmodeus. Kusarankan kau memilih opsi pertama karena kalau kau memilih sebaliknya, kau akan terima akibatnya.”

Dante memberi tatapan menantang sekaligus sangsi, “Memang kau punya bukti untuk melaporkanku?”

“Oh, siapa bilang aku berniat melaporkanmu?” Aku meraih gagang pedangku, lalu menggenggamnya erat-erat. Harusnya ancaman seremeh ini tidak menggoyahkan Dante. Sebaliknya, dia tampak cukup terpengaruh. Kurasa wajahku yang sedang buruk rupa mendukung aksi ancamanku kali ini. “Silakan mengajar kembali. Jangan sampai muridmu menunggu.”

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang