[39]

628 133 12
                                    

Aku tidak tahu harus melakukan apa. Pada dasarnya, memang tidak ada yang bisa diharapkan dari gadis biasa yang mendadak mengetahui dirinya adalah penunggang naga.

Aku cuma terus berjalan menjauhi tebing. Sampai akhirnya terlihat sebuah kastil, lokasinya cukup jauh dan terletak di tengah pulau, dikelilingi pohon yang sudah meranggas.

Semula tidak ada yang mencurigakan dari kastil tua itu. Akan tetapi semakin kuperhatikan, sebuah ingatan pun mulai tersingkap. Pertama kali tiba di Andarmensia, di sinilah aku berada. Ini berarti semua pemandangan indah yang kulihat hanya sebatas ilusi semata. Memikirkan betapa indahnya pulau ini dalam ilusi tersebut membuatku bergidik seketika.

Kesunyian menyelimuti dari segala arah. Suara selirih apa pun tak terdengar dari dalam kastil. Aku sempat mengira tempat tersebut bakal mengeluarkan suara raungan naga atau semacamnya, tetapi tidak. Di tahap ini, aku cukup khawatir diriku salah tempat karena pulau ini terlalu sepi.

Semakin aku melangkah keluar dari kumpulan ilalang, semakin tegang pula tubuhku. Aku mulai memasuki lautan pohon kering dengan degup jantung lebih keras dari sebelumnya. Lengah sedikit, maka kemungkinan terburuknya adalah nyawaku akan melayang dan semua ini akan sia-sia.

Semakin dekat ke bangunan di hadapanku, keinginan untuk kabur semakin menguat. Di sisi lain, aku turut merasakan tarikan dari tali-tali samar yang memintaku untuk berjalan lebih dekat lagi ke arah kastil. Di mana pun Beast berada, dia masih hidup. Jantungnya seolah berdetak dalam diriku dan itulah satu-satunya alasan yang mendorongku untuk terus maju.

Dari tempatku berdiri sekarang, tidak terlihat satu pun penjaga di kastil tersebut. Aku sempat membayangkan puluhan atau ratusan penjaga berjejer di tembok-tembok pelindung atau di menara, atau mengadakan patroli keliling pulau. Nyatanya tidak ada tanda-tanda kehidupan dan itu semakin membuatku gelisah. Dalam konteks tertentu, sesuatu yang terlihat aman-aman saja biasanya adalah yang paling berbahaya.

Sambil mengharapkan keberuntungan, aku bergerak perlahan ke arah kastil. Butuh waktu untuk sampai di gerbang depan. Meski menerima sedikit dorongan, gerbang itu terbuka dengan mudahnya.

"Aku bakal mati," gumamku. Asmodeus jelas-jelas menantiku. Tidak mungkin jalanku semudah ini, bahkan gerbang pun tidak dikunci. Kalau aku jadi Asmodeus, aku pun tidak akan takut dengan remaja berusia enam belas tahun. Barangkali semua ini hanyalah hiburan semata baginya.

Kuputuskan untuk tidak sembunyi-sembunyi lagi, walau butuh usaha keras ketika berjalan terang-terangan menuju ke dalam kastil. Dadaku bakal bolong kalau jantungku terlalu sering berdebar sekencang ini. Bibirku mulai bergetar sehingga aku berhenti berjalan untuk sejenak. Sekujur tubuhku tidak bisa diajak kerja sama. Aku terduduk di tengah jalan menuju pintu utama. Rasanya nyaliku sudah ciut sampai tidak mampu melangkah lagi. Ini bukan sekadar cerita di dalam novel yang biasa kubaca, yang mau bagaimanapun, pasti sang tokoh menemukan jalan untuk menyelamatkan diri.

Berhasil mencapai pintu dan mendorongnya terbuka adalah pencapaian terbaikku sejauh ini. Aku kembali dihadapkan dengan kekosongan dan keheningan. Tidak ada apa pun selain ruangan luas nan gelap. Pada sebelah kiri dan kanan terdapat tangga menuju lantai atas. Kemudian terdapat beberapa pintu tersebar di depanku.

Aku mencoba membuka pintu yang ada satu per satu, dimulai dari pintu di sebelah kiri ruangan. Terkunci. Pintu di bagian tengah, diantara tangga pun demikian. Pintu di sebelah kanan macet saat dibuka. Aku memaksanya dengan memberi sedikit tendangan. Suara keras bergemuruh sepanjang lorong di depanku, tapi setidaknya pintu tersebut berhasil dibuka.

Kususuri lorong sambil menyiagakan belati di tangan, mengingat senjata itulah yang lebih mudah dipegang. Lorong tersebut hanya mengarah ke depan, tidak ada belokan. Di bagian paling ujung, terdapat pintu kayu yang digembok. Aku berpikir untuk menghancurkannya dengan pedang. Maksudku, di film biasanya mereka melakukan itu. Kemudian  kuingatkan diri bahwa apa yang ada di film biasanya berbanding terbalik dengan kenyataan. Selain itu, aku tidak ingin menimbulkan lebih banyak keributan yang belum tentu membuahkan hasil.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang