[45]

774 146 15
                                    

Upacara pengikatanku dan Beast baru dilaksanakan sebulan setelahnya.

Aku sudah bersiap dengan memakai pakaian bahan kulit warna hitam yang berlengan panjang. Untuk bagian bawah, aku mengenakan rok kain semata kaki, dilengkapi dengan ikat pinggang dan pedangku. Pada bagian bahu, terpasang jubah yang juga berwarna hitam. Rambutku diikat dalam bentuk kepang sederhana. Jujur saja, aku merasa akan menghadiri pemakaman saat ini, tetapi pada dasarnya, setiap penunggang memang mengenakan busana yang sewarna dengan sisik naga mereka pada hari pengikatan.

"Astaga," Raelynn berucap sambil tertawa saat masuk ke kamar. "Aneh rasanya melihatmu berpakaian cukup formal, dan haruskah kau memakai jubah?"

"Kupikir penampilan ini tidak terlalu buruk." Aku berkaca sekali lagi. Walau terlihat seperti sedang berkabung, pakaian serba hitam yang kukenakan tetap lumayan keren.

Kami berdua keluar dari kabin, menuju tempat upacara akan dilangsungkan. Aku duduk di seberang Beast, dipisahkan oleh api unggun. Di sebelah kiriku, seorang pendeta dari Kuil Draig yang merupakan pemimpin upacara menyerahkan belati kepadaku.

Aku sudah mendengar tata cara upacara ini dari beberapa penunggang. Beast meletakkan salah satu kaki depannya di atas api sementara aku akan menoreh sedikit luka di telapak tangan hingga darah menetes, kemudian memosisikannya di atas kaki depan nagaku. Setelahnya, sang pemimpin upacara mulai melafalkan doa pengikatan bagi kami.

Api dan darah,

Bumi dan langit,

Dewa-Dewi yang tengah mengamati,

Sudilah menyatukan dua jiwa ini.

Sekarang dan selamanya,

Mereka adalah satu jiwa dalam dua tubuh,

Penunggang dan Naga.

Seusai mengucapkan doa singkat tersebut, sang pendeta kuil menyerahkan kain putih untuk membebat tanganku. Aku dan Beast sama-sama menjauhi api unggun dan orang-orang bertepuk tangan.

"Begitu saja?" tanya Beast.

"Memang harus seheboh apa?" tanyaku.

"Kupikir kita harus menari mengelilingi api unggun." Jawabannya membuatku mendengus, berusaha menahan tawa.

Setelahnya, acara makan-makan pun dilaksanakan sebagai bentuk ucapan syukur ke Draig, tak hanya untuk pengikatanku dan Beast, tetapi juga untuk keselamatan yang telah sang dewa berikan kepada kami semua sehingga dapat melewati masalah yang ditimbulkan Asmodeus. Beberapa orang mendekat untuk menyalamiku sebagai ucapan selamat. Ben pun datang bersama keluarganya. Ibunya memberiku pelukan erat dan menyelamatiku berkali-kali, sementara ayahnya bersikap lebih tenang dan menjabat tanganku sambil menyampaikan beberapa harapan yang baik-baik untukku dan Beast.

Pelukan Raelynn hampir meremukkan tulangku. "Aku turut senang, Cassie," ucapnya. Padahal aku yang baru saja melaksanakan upacara, namun Raelynn tampak lebih bersemangat dariku.

"Hei, Ben," panggilku. Pemuda itu mendongak dari piringnya dan berjalan mendekat. "Kau ingat Raelynn, ',kan?"

Ben bingung sejenak, berusaha mengingat-ingat. "Oh," dia berkata pada akhirnya, "Kau yang suka padaku, ya?"

"Tidak!" Raelynn hampir berteriak. Dia berdeham singkat dan mengulurkan tangan ke arah Ben. "Tapi, senang bertemu denganmu."

Ben menyambut tangan Raelynn sambil tersenyum. Kurasa Raelynn bisa pingsan saat itu juga. "Terima kasih sudah suka padaku. Tapi aku-"

"Aku tahu," Raelynn memotong. "Tidak apa." Wajahnya memerah seketika sampai dia harus mencari alasan untuk pergi. "Sepertinya, uh... aku harus ambil minum dulu."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang