Pagi berikutnya dan seterusnya, aku terus menanti hari ketika Immy akan datang. Tidak ada lagi yang kulakukan di sini. Aku hanya membantu Raelynn dan gadis itu tak mengungkit-ungkit soal Beast ataupun mengucapkan bela sungkawa. Dia sedikit mengurangi kecerewetannya, kadang-kadang diam cukup lama. Beberapa kali aku menangkap tatapannya ke arahku sebelum dia memalingkan wajah. Namun tak pernah sekali pun Raelynn berusaha menunjukkan bahwa dia prihatin. Harus kuakui, aku senang Raelynn tidak mengasihaniku.
“Kau bakal pergi,” katanya, sehari sebelum aku pulang. “Aku bakal sangat rindu padamu.”
Raelynn duduk di atas ranjangku selagi aku menyapu kamar. Orang-orang yang tinggal seatap denganku, termasuk Amethyst tidak membahas Beast. Namun mereka sempat berbelasungkawa untukku, yang mana tidak kuperlukan sama sekali. Bahkan Amethyst sekalipun tampak ikut sedih untukku.
Melihat wajah kasihan mereka sudah membuatku muak. Bukan naga mereka yang tergeletak tak bernyawa hari itu.
“Aku minta maaf belum bisa membawamu keluar dari sini," ucapku, teringat pada janji yang kubuat. Seharusnya aku menepatinya. “Aku akan coba mencari cara mengeluarkanmu. Mungkin sahabatku mau membantu.”
Untuk sesaat Raelynn tak membalas. Kemudian dia turun dari ranjang dan meraih tanganku, meremasnya erat.
“Aku akan baik-baik saja di sini," Raelynn berucap serius. “Aku memutuskan untuk tetap di sini, bekerja demi keluargaku. Sekarang kau harus berjanji padaku supaya kau hidup bahagia saat kembali ke duniamu nanti.” Ucapannya terhenti, matanya berkaca-kaca. “Aku akan sangat merindukanmu.” Raelynn mengusap air matanya.
“Hei, sudahlah.” Aku menepuk bahunya. “Aku pasti merindukanmu juga. Jaga dirimu baik-baik.”
“Oh, Cassie.” Dia memelukku erat. “Aku benar-benar menyesal soal Beast. Aku tidak ingin mengatakan ini karena aku tahu ini akan membuatmu semakin sedih. Tapi aku sangat menyesal soal kepergiannya.”
Aku mengangguk, memahami maksud Raelynn. Dia memelukku cukup lama sampai orang-orang yang lalu-lalang menengok kami sejenak dari jendela kamar yang terbuka. Raelynn melepas pelukan lebih dulu sambil mengusap air mata di wajahnya. Aku pun berusaha menahan diri agar tidak ada lebih banyak air mata yang tumpah hari ini.
━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━
Aku baru bangun kala hari sudah lumayan siang. Seluruh penghuni kamar, kecuali diriku, sudah sibuk dengan kesibukan masing-masing. Tak ada yang peduli aku latihan atau tidak. Saat sedang membereskan ranjang, Roan melangkah masuk.
“Temanmu sudah tiba,” katanya. Pria itu mengusap tangan dengan gerakan canggung, kemudian memasukkan keduanya ke masing-masing saku celana. “Kutebak kau memutuskan pergi.”
“Sudah pasti, 'kan? Lagi pula aku hanya menjadi pengganggu di sini. Aku sudah tidak punya naga," balasku, entah mengapa terdengar ketus padahal aku tidak bermaksud demikian. “Terima kasih sudah menerimaku, serta untuk pelatihan yang kudapatkan. Aku senang bisa belajar banyak.”
“Seandainya kau bisa tetap di Matumaini,” Roan membalas.
Tidak bisa, aku berkata dalam hati, ini tempat untuk penunggang naga. Tanpa naga, aku tak lebih dari para pekerja.
Roan dan aku sama-sama berjalan ke kabinnya. Di dalam kantor, Immy duduk diawasi oleh Dante. Pemuda itu memandangiku masuk, menatap cukup lama tanpa ekspresi lalu membuang muka. Menyadari kehadiranku, Immy membalikkan badan. Dia buru-buru berdiri dan memelukku.
“Aku menyesal soal Beast,” bisiknya. “Kau baik-baik saja?”
Aku ingin menjawab bahwa aku baik-baik saja. Seolah setelah sekian hari, aku tidak merasakan kehilangan yang berarti. Namun sebuah lubang hitam serasa muncul dalam dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...