[17]

722 148 9
                                    

Di malam hari, kami kembali ke tempat latihan tetapi Ben belum datang. Maka dari itu, Beast mengantarku kembali ke daerah pemukiman. Suara orang-orang terdengar dari satu kabin yang sama; kemungkinan besar itu aula atau tempat makan bersama.

"Sudah jam segini, sepertinya sedang waktu makan malam," aku menebak.

Beast menoleh ke arahku. "Kau tidak mau makan?"

"Kau sendiri?" Perutku sedari tadi sudah bergemuruh pelan. Kuharap volume suaranya tidak bertambah. "Aku lapar, sih."

"Aku bisa mengurus diriku sendiri.  Katakan, memangnya kau bisa makan daging mentah?"

Kendati sudah turun dari Beast, aku tetap terdiam di sebelahnya. "Aku tidak mau ke sana," suaraku berujar pelan, seolah takut ada yang mendengar. "Pasti ramai sekali. Di saat-saat tertentu aku tidak suka keramaian."

"Kenapa?"

"Kenapa kau ingin tahu?"

"Aku nagamu, sudah seharusnya aku tahu apa yang tidak kau sukai."

Aku menatapnya dengan curiga. "Supaya kau bisa memakainya untuk menggangguku kapan-kapan?"

"Ah, kau tahu saja," balas Beast. Aku meninju sisi tubuh naga itu walau tak berefek apa pun. Dia hanya diam sementara tanganku kesakitan.

"Biar bagaimanapun kau harus makan," Beast mengingatkan. "Hanya sebentar saja, bukan? Cuma beberapa suap lalu pergi."

"Ya." aku mengangguk. "Kau benar."

Berhubung rasa lapar sudah tidak terbendung, aku memilih berjalan ke arah aula. Ketika masih berdiri di luar pun, aku sudah mendengar keriuhan dari dalam. Kudorong pintunya berlahan, berusaha tidak menarik perhatian dan masuk.

Mulanya memang tidak ada yang memperhatikan, kemudian beberapa orang sadar akan kehadiranku. Tak butuh waktu lama, berpasang-pasang mata mulai menyadari eksistensiku. Kusibukkan diri dengan nampan makanan dan membiarkan para petugas mengisinya. Namun, tatapan mereka pun ikut mengikuti pergerakanku, seolah aku buronan yang diawasi agar tidak lari.

Hampir semua meja diduduki. Aku mengedarkan tatapan ke sekeliling ruangan, mencari-cari tempat kosong yang tak kunjung kutemui.

"Cassie," seseorang memanggil. "Mencari tempat duduk, eh?" Theo menghampiriku sambil membawa segelas air.

Aku mengangguk sambil masih memeriksa ke sekitar. "Kelihatannya semua tempat sudah penuh."

"Aku melihat ada kursi kosong di sana," Theo menunjuk ke bagian pojok belakang. "Kalau beruntung, kau bakal dapat tempat."

"Kau akan makan juga?" Aku menunjuk gelas di tangannya dengan dagu.

"Oh, ini untuk Ben. Dia lupa membawa air dan terakhir kulihat dia tersedak."

"Di mana dia?"

"Di belakang bangunan ini."

Aku mengerutkan dahi, "Belakang? Maksudnya di barisan kursi belakang?"

"Tidak, maksudku di belakang bangunan ini."

"Kenapa? Karena tidak ada tempat duduk lagi?"

Theo menggeleng kecil, tetapi wajahnya menunjukkan keprihatinan. "Percayalah, lebih baik dia di sana daripada di sini." Pemuda itu berjalan melewatiku. Aku mengambil gelas berisi air untuk diriku sendiri dan menyusul Theo. Dia berjalan semakin ke belakang, melewati meja demi meja sampai tiba di sebuah pintu dan keluar lewat sana. Sebelum pintunya menutup lagi, aku menahannya dengan kakiku dan mendorongnya hingga terbuka.

Tempat itu merupakan tempat cuci piring. Aku tidak pernah bekerja di wilayah ini sebelumnya. Air bekas cucian mengotori ember di mana-mana. Hampir tidak ada pekerja karena belum ada peralatan makan kotor yang perlu dicuci. Ada sebuah gantungan untuk menjemur kain lap. Di antara ember-ember cuci, di sanalah Ben duduk, tanpa kursi atau alas. Akan tetapi tidak ada raut keberatan dalam wajahnya, malah dia tertawa karena sesuatu yang dikatakan Theo.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang