[16]

786 153 27
                                    

“Cassie?”

Kakiku tersentak—hal yang selalu terjadi saat kau mimpi terjatuh dari tempat tinggi—dan mataku terbuka. Ben berjongkok di sebelah ranjangku. Dia tidak bicara sampai aku berhasil mengumpulkan nyawa dan duduk.

“Pukul berapa sekarang?” Aku tidak menunggu jawaban karena aku tahu di mana letak jam di ruangan ini. Waktu menunjukkan pukul dua belas lewat sedikit. Matahari bersinar terik di luar. “Ada apa, Ben?”

“Aku sudah dengar dari Roan, katanya kau tidak mau latihan dengan Dante. Roan membebaskanku dari tugas dan sekarang aku harus melatihmu.”

Kendati masih ingin mengeluh, setidaknya ini Ben, bukan Dante. Aku cuma menjawab dengan anggukan sekali. Dengan berat hati, aku bangun dari ranjang.

Ben menyerahkan baju latihanku—atau mungkin hanya baju biasa yang lebih lazim dipakai di Andarmensia dibandingkan pakaianku sekarang—berupa baju dengan panjang lengan hingga siku dan celana panjang. Keduanya sama-sama berwarna cokelat. Juga sebuah ikat pinggang dengan beberapa kait kecil yang kuduga merupakan tempat menggantung senjata.

“Nagamu sudah menunggu,” kata Ben seusai aku mengganti pakaian di kamar mandi. “Dia sempat pergi, lalu kembali lagi.”

“Ke mana dia?”

“Tidak tahu.” Ben mengedikkan bahu. “Aku tahu ini terdengar tidak penting, tapi aku benar-benar ingin melihat ekspresi wajah Dante sewaktu kau menolak dilatih olehnya.”

Aku tertawa kecil dan singkat sebagai respon. "Itu akan jadi tontonan menarik."

Kaia dan Beast menunggu di luar, berdiri berjauhan. “Tidur siang yang menyenangkan, eh?” sapa nagaku, terdengar mengejek.

“Cassidy, kau kelihatan lelah,” Kaia menimpali, justru dia yang lebih khawatir. Selain itu Kaia benar; aku memang sangat lelah.

“Bah! Kau masih muda dan cepat lelah? Kalau ada serangan ke pulau ini, kau bakal jadi orang pertama yang mati kalau lembek seperti itu," timpal Beast ke arahku.

“Kau terlalu keras padanya,” Kaia membalas. “Syukurlah dia tidak bisa mendengarmu.”

Aku sangat ingin tertawa kasar dan mengatakan betapa jelasnya setiap kata di telingaku.

“Cassie, kau baik-baik saja?” tanya Ben. “Kenapa kau termenung?”

Aku menggeleng. "Cuma sedikit lelah. Aku baru bangun dan kurasa wajar saja kalau jadi agak linglung.”
Kudekati Beast dan menaikinya. Kami terbang menjauh dari pusat kehidupan di Matumaini dan mendarat di padang rumput.  Kawasan itu luas dan sepi, tidak ada yang mengganggu.

“Oke,” Ben terlihat gugup. “Kalau kau menjalani pendidikan normal di sini, seharusnya kau mendapat beberapa teori terlebih dahulu. Hanya saja karena waktu kita terbatas, mari mulai dengan cara menunggangi nagamu. Pertama, pastikan kau bisa menaikinya dengan cepat. Mengingat nagamu berukuran lebih besar dari naga-naga di sini, akan lebih sulit menaikinya. Semisal ada serangan, semakin cepat waktu yang kau perlukan untuk menaiki nagamu dan terbang pergi, akan semakin baik."

“Kupikir aku sudah tahu bagaimana caranya,” balasku.

“Itu bagus.” Ben masih menunjukkan gestur gelisah. “Perlihatkan.”

Tatapannya tidak terlalu fokus saat memperhatikanku, sampai-sampai dia tidak berkomentar saat aku sudah berada di atas Beast.

“Apa kau gugup?” tanyaku, tanpa tedeng aling-aling.

Ben semakin kelihatan salah tingkah. "Benar. Ini pertama kalinya aku melatih seseorang."

“Maaf karena menyusahkanmu. Aku tidak keberatan kalau pelatihku diganti oleh orang lain.”

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang