[41]

602 136 5
                                    

Begitu tiba di sel tahanan, aku langsung mengenali Ben sekalipun suasana di sekitar kami agak remang, hanya diterangi cahaya dari dua obor. Kepala pemuda itu terus tertunduk, pertanda dia sedang tak sadarkan diri. Kedua tangannya diikat ke belakang sementara rantai melilit tubuhnya yang sedang berlutut. Ujung lain dari rantai menyatu pada dinding, menahan Ben agar tidak jatuh ke depan. Dinding sel itu sendiri dipenuhi ukiran simbol sihir.

Kuduga Dante akan ditahan dengan cara serupa seperti Ben. Aku dan Amethyst dibiarkan begitu saja setelah senjata kami dilucuti. Aku tetap diam dengan harapan tidak dibuat pingsan. Untung saja, orang-orang tidak terlalu peduli lagi padaku sehingga mereka cuma sibuk mengurus Dante.

Setelah kami ditinggalkan, aku mencoba memeriksa keadaan Ben. Kepalanya tertunduk sangat dalam sampai aku harus mengangkatnya. Kuperiksa nadi di leher pemuda itu, yang syukurlah masih berdetak.

"Ben," aku memanggil sambil menepuk pipinya. "Benedictus Salvatore, apa kau dengar aku?"

Setelah beberapa tamparan pelan, reaksi pertamanya adalah mengerutkan kening. Kelopak mata Ben terbuka sedikit. "Kaia," dia berucap, hampir tak bersuara. "Mereka akan membunuhnya."

Aku tidak melihat Kaia selama di kurungan tadi. Mungkin dia berada di salah satu kurungan yang belum kuperiksa. Tadi aku memang sempat melihat beberapa naga ur tapi semuanya terlihat mirip dalam keadaan seperti ini. Bisa saja aku melewatkan Kaia.

Mata kami bertemu. "Cassie," dia berucap susah payah. Kulihat matanya bengkak dan masih ada sisa air mata di wajahnya. "Kukira kau sudah mati."

Aku mengangguk. "Terima kasih pada sebatang kayu yang terapung, karena berkatnya aku bisa bertahan cukup lama. Lebih beruntungnya lagi, Dante dan Amethyst menyusul dan merekalah yang berhasil menyelamatkanku."

Ben mengembuskan napas dengan berat. "Padahal aku mengira kau tidak akan selamat. Aku tidak bisa membayangkanmu di lautan seluas itu sendirian." Suara Ben terdengar sangat serak. Dia berdeham untuk menjernihkan suaranya. "Kupikir aku kehilanganmu dan Kaia pada hari yang sama. Kau tak tahu betapa hancurnya aku kalau itu sampai terjadi."

Ben tidak memberi tanggapan terkait Dante dan Amethyst. Aku sendiri tidak tahu harus merespon apa atas perkataannya barusan. Tak pernah ada orang yang menganggapku sepenting itu selain keluargaku sendiri. Kuharap Kaia masih hidup atau Ben akan sangat terpukul bila terjadi sesuatu pada naganya.

"Kita akan selamatkan naga kita dan naga yang lain, lalu keluar dari sini." Aku berusaha memegang harapan itu kuat-kuat, memastikannya tidak pergi jauh. Aku kembali ke Andarmensia bukan untuk menyaksikan kami semua mati. Lebih dari itu, jangan sampai ibu Dante dan keluarga Salvatore kehilangan anak mereka gara-gara aku.

Kusibak helaian rambut yang menutupi wajah Ben. Kususurkan jemari ke kepalanya untuk mengumpulkan tiap helai rambut menjadi satu. Sayang sekali aku tidak membawa ikat rambut cadangan, jadi kulepas milikku dan memakaikannya ke Ben.

Geraman samar terdengar dari Amethyst. Gadis itu mengerang cukup keras sambil berusaha bangkit. Dia mengusap tanah yang mengotori sebagian wajahnya dan meludahkan sebagian yang tak sengaja masuk ke mulut. Ketika melihatku dan Ben, dia meracau, "Kita akan mati."

Aku mengedikkan bahu. "Terima kasih sudah mengingatkan kami."

Gadis itu mendapati keberadaan Dante dan segera menghampirinya dengan agak kepayahan. "Dante!" Amethyst berteriak dengan setengah suara sembari mengguncang pemuda itu. "Dante, bangun!"

Usaha tersebut tidak sia-sia karena Dante segera terbangun dalam keadaan linglung. Sadar bahwa dirinya dirantai, dia langsung memberontak.

"Demi dewa-dewi," erangnya. "Apa-apaan ini?!"

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang