[44]

649 153 20
                                    

Setelah menangis tanpa henti sekitar sepuluh menit, Raelynn akhirnya mengikutiku menaiki Beast.

Butuh waktu semalam saja bagi Roan untuk memproses pembebasan Raelynn dari tugas-tugasnya. Selain itu, aku meminta agar pihak dewan memberi gadis itu dana untuk membuka usaha di desanya. Merasa permintaanku tidak heboh-heboh amat, Roan menyetujuinya dengan cepat.

Raelynn pulang dengan membawa uang tunai. Memang jumlahnya tidak seberapa, karena pihak dewan tidak bisa memberi terlalu banyak. Namun, semua itu cukup untuk membuat Raelynn sulit berhenti menangis.

"Aku dan ibuku suka memanggang kue. Aku yakin kami bisa buka toko," dia berkata dalam perjalanan kami menuju Desa Trankuila. Sepanjang perjalanan, telingaku hampir panas mendengar ocehan Raelynn. Rasanya dia sudah merencanakan semua hal yang akan dilakukan ketika pulang nanti.

Kami berangkat di pagi hari dan tiba menjelang siang. Kehadiran Beast menarik perhatian banyak orang walau kami mendarat di tepi hutan, bukannya di tengah-tengah desa. Sementara Beast menunggu di tempatnya mendarat, aku menemani Raelynn pulang. Seorang perempuan sedang sibuk mengupas jagung di teras rumah ketika kami tiba.

"Reyna!" teriak Raelynn pada kakaknya. Reyna mengangkat kepala tatkala namanya dipanggil. Gadis itu terlihat mirip dengan Raelynn, meski rambutnya lebih pendek. Setelah terkesiap keras dan melongo dengan tatapan tak percaya, Reyna langsung menaruh keranjang jagungnya dan berlari ke arah Raelynn. Segera saja, air mata keduanya tumpah ruah.

"Oh, Raelynn." Reyna memeluk adiknya lebih erat. "Sudah kubilang jangan berkeliaran ketika kita pergi ke festival!" Ocehan itu dilanjutkan dengan ciuman bertubi-tubi di wajah Raelynn.

"Aku baru saja pulang dan kau sudah mengomel!" Raelynn merengek kesal, tetapi air mata harunya terus bercucuran.

"James! Jerry!" teriak Reyna. "Kakak kalian kembali!" Dari dalam rumah, muncul dua anak laki-laki kembar yang segera menjerit saat melihat kakak mereka. James dan Jerry menangis keras dan memeluk kakak mereka erat-erat, seakan takut Raelynn akan pergi lagi.

Begitu aku hendak pergi, membiarkan mereka melepas rindu, Reyna menyadari kehadiranku. Suasana lambat laun menjadi lebih tenang. James dan Jerry sepakat untuk mencari orang tua mereka dan segera berlari pergi. Raelynn mengusap air mata di wajahnya. "Reyna, aku mau kau bertemu Cassidy." Aku dan Reyna berjabat tangan. "Cassie, ini kakakku, Reyna."

"Kuharap dia tidak merepotkan," ucap Reyna. Aku ingin tertawa keras mendengar ucapan tersebut. Syukurlah aku berhasil mengendalikan diri.

"Raelynn adalah teman yang baik," balasku.

Reyna mendengus. "Dia menyebalkan. Akui saja." Raelynn menyikut kakaknya. "Lihat, kan?" ujar Reyna. "Pasti dia merepotkan."

"Lumayan," akhirnya aku mengakui.

"Tapi aku satu-satunya teman yang Cassidy punya," Raelynn berkata dengan bangga. "Karena Cassidy susah punya teman. Soalnya dia menyebalkan."

"Kau juga susah punya teman karena semua orang menganggapmu cerewet," celetuk Reyna. Sebelum Raelynn kembali mendebat kakaknya, Reyna berkata, "Cassie, kau bisa istirahat di sini untuk makan malam."

"Aku sangat menghargai tawaranmu. Tapi aku sebaiknya pulang. Kapan-kapan aku akan datang."

Reyna mengangguk paham. "Kalau begitu, sering-seringlah kemari."

"Aku akan menghadiri upacara pengikatanmu dan nagamu," kata Raelynn. "Jangan lupa jemput aku."

Sebelum aku mengangguk, Raelynn memberiku pelukan erat nan mencekik. "Aku bakal merindukanmu, Cassidy."

"Aku tidak bakal rindu padamu." Kupeluk dia kembali seerat yang kubisa. "Tolong, jaga mulutmu setelah ini. Jangan buat masalah lagi. Jangan memaki orang sembarangan."

Raelynn mengangguk, "Kecuali mereka berniat macam-macam denganku, maka aku boleh berbuat sesukaku."

Aku tertawa kecil mendengarnya sambil menahan air mata. Entah kenapa sulit berpisah dengan si cerewet yang satu ini.

Kami melepas pelukan dengan berat hati. Kubiarkan Raelynn dan kakaknya kembali ke rumah. Saat aku sudah berjalan lumayan jauh, kudengar keributan lain di rumah Raelynn saat orang tuanya kembali.

Aku mempercepat langkah menuju tempat nagaku menunggu. Semakin cepat aku kembali, maka aku bisa tiba di Matumaini sebelum larut malam.

"Dia sudah kembali ke rumahnya," aku berkata pada Beast setelah kembali padanya. "Sekarang kita pulang."

"Kau tahu, Cassie? Kau bisa saja minta dibelikan pulau pribadi. Supaya kita bisa tinggal berdua tanpa diganggu yang lain," celetuk Beast setelah dia terbang meninggalkan Trankuila.

"Aku tidak yakin pihak dewan ingin menghambur-hamburkan uang untuk itu," balasku. "Tapi, sejak awal aku cuma ingin kau kembali."

"Tunggu, apa aku harus senang mendengar hal tersebut?"

"Ya, bersenang-senanglah selagi aku masih mengatakan hal baik padamu."

Beast mendengus. "Saat kita sudah lulus nanti, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"

"Ke mana?"

"Tidak tahu," kata Beast. "Berkeliling dunia? Mencari tempat-tempat baru?"

Aku menaikkan kedua alis. "Menurutmu ada tempat lain yang tidak ada di peta Andarmensia?"

"Mungkin saja," kata Beast. "Bagaimana kalau nanti kita cari tahu?"

"Nanti setelah kita lulus, kita akan jalan-jalan berdua."

"Tanpa Ben dan Kaia?" selidik Beast.

Aku tertawa. "Tanpa siapa pun. Cuma Cassidy dan Beast."

Nagaku tidak menjawab untuk waktu yang cukup lama, seakan ia tengah berandai-andai, menunggu hari tersebut akan tiba.

"Cass."

"Ya?"

"Ada yang ingin kuberi tahu."

Kata-katanya membuatku menanti. Keseriusannya membuatku tegang tanpa alasan, tetapi kucoba untuk tetap tenang. "Katakan saja, Beast."

Butuh jeda yang cukup lama hingga Beast kembali bersuara, "Dulu, keluargaku pernah lolos dari pembantaian naga dan kami sempat hidup tenang untuk waktu yang lama. Lalu, segerombolan penyihir menemukan tempat persembunyian kami. Mereka membunuh iltas dewasa, kemudian memotong sayapku dan membuangku ke laut. Aku ingat, waktu itu aku punya saudara perempuan. Dia mengalami hal yang sama. Sayang sekali dia menyerah pada maut dan meninggal beberapa jam kemudian. Aku pun hampir bernasib sama dengannya."

Aku tidak menyiapkan diri untuk cerita itu sehingga hanya bisa terdiam. Beast pun tidak pernah sama sekali membahas soal ini sebelumnya.

Beast melanjutkan, "Aku, yang masih terapung sekarat di laut, bertemu dengan dua penunggang naga setelahnya. Namun ketika mendengar ucapan mereka mengenai kondisiku, aku tahu para penunggang hanya akan memasukkan aku ke kandang; memajangku seperti hiasan rapuh karena aku adalah satu-satunya yang tersisa dari jenisku dan aku cacat."

"Apa yang terjadi selanjutnya?"

"Tentu saja aku kabur dengan cara menyelam sebelum kedua penunggang itu membuatku kehilangan kebebasan. Beruntungnya, aku bertemu dengan seekor naga ur yang berbaik hati membawaku ke gua naga. Walau tak bebas dan rasanya aku hampir mati, setidaknya tak ada yang mengekangku. Tak ada yang menjadikanku objek untuk diamati dan dipelajari. Buktinya, selama bertahun-tahun, aku masih hidup dan punya cukup banyak kenalan di gua naga yang kutempati. Walau setiap harinya aku merasa tidak punya nyawa lagi."

Hanya dengan mendengar itu, aku mulai memahami sesuatu. "Pantas saja kau tidak suka pada Ben. Dia perpaduan dari dua hal yang tidak kau sukai. Benar begitu?"

"Sangat tepat," Beast membalas. "Dulu, melihatnya saja membuat kekesalanku berlipat ganda. Penunggang dan penyihir saja sudah menyebalkan, apalagi perpaduan antara keduanya."

Aku menepuk leher Beast. "Kau luar biasa bisa bertahan selama ini. Kalau tidak, kita tak akan bertemu."

Beast terkekeh bangga. "Tapi, kau tahu apa hal terbaik yang terjadi padaku, Cassie?"

"Apa?"

"Saat kau berjalan ke arahku di hari itu," jawabnya, "rasanya aku hidup kembali."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang