[7]

822 164 19
                                    

“Cassidy?” Raelynn mencicit pelan.

“Ya,” aku membalas lirih. “Aku tahu.”

Gadis berambut merah itu menatapku. “Kau kenal gadis ini?”

Aku menelan ludah susah payah. “Kami baru saja berkenalan. Dia menyebalkan, aku tahu," jawabku, mengakibatkan Raelynn merengek perlahan. “Kalau tidak keberatan, biarkan kami pergi supaya aku bisa mengajarinya sopan santun.”

“Kenapa tidak aku saja yang mengajari makhluk rendahan ini sopan santun?” Kakinya menekan bahu Raelynn semakin kuat, membuatku ikut berjengit perlahan. Kalau aku tidak bertindak sekarang, maka aku akan menyaksikan gadis sinting ini mematahkan tulang selangka seseorang.

“Hentikan itu." Suaraku lebih pelan dari bisikan. “Hentikan," aku mengulang lebih keras.

Perhatian gadis itu kembali padaku. Dia menarik kakinya dari Raelynn dan kini tangannya mencengkram bahuku.

“Kenapa, Jagoan? Mau menggantikannya?”

“Menggantikan apa?” Perasaanku mulai tidak enak. Suara hatiku menyerukan agar aku mendorong gadis ini dan lari saja, yang seharusnya kuturuti. Pukulan gadis itu kemudian bersarang ke perutku, bahkan lemak perutku tidak mengurangi rasa sakit. Udara terkuras habis dari paru-paruku dalam waktu singkat. Aku jatuh berlutut seketika dengan rada mual melanda tenggorokan.

“Dan kau,” dia menunjuk Raelynn, “anggap saja kau beruntung kali ini.” Gadis itu berjalan pergi. Aku masih mencengkram perutku, berusaha untuk bernapas kembali di tengah perpaduan rasa sakit dan malu. Aku bahkan tidak tahu salahku apa dan gadis itu, tiada angin tiada hujan, mendadak datang dan bertingkah seakan dia ibu dari si pemuda dengan naga merah yang dimaki Raelynn. Atau dia cuma salah satu cewek sok jagoan yang mencari perhatian. Opsi kedua terdengar lebih meyakinkan.

Raelynn menarikku bangun. “Kau baik-baik saja?”

“Aku baru ditinju di perut. Menurutmu aku baik-baik saja?” aku bertanya dengan suara tercekat.

“Oh, Cassidy,” Raelynn tampak prihatin. Aku seharusnya marah. Pada dasarnya semua ini harusnya membuatku murka. Aku diculik, dipekerjakan secara paksa, menerima perintah terus-menerus, hampir dimakan naga, dipukul si gadis berambut merah. Semua itu bisa menjadi alasan untuk mengamuk dan menyumpahi semua orang di pulau ini. Namun, otak sintingku malah membuatku tertawa geli.

“Astaga,” aku berujar geli, "jadi begitu rasanya ditinju. Aku selalu penasaran.”

Aku terkekeh lebih keras tatkala membayangkan betapa sintingnya gadis tadi, lalu meringis gara-gara rasa sakit yang mendera. “Ayo kembali, Raelynn. Aku harap kita sudah bisa makan.”

“Kau butuh bantuan untuk jalan?”

“Tidak perlu.” Susah payah kuucapkan kata itu sambil beranjak bangun. Setelah menaruh peralatan bersih-bersih, untunglah tidak ada pekerjaan lagi sehingga kami diperbolehkan istirahat sejenak dan makan. Aku mandi setelah makan, masih dengan perut tidak nyaman. Tinju tadi terus terbayang olehku.

Malam mulai tiba. Aku menunggu hingga larut dan melakukan apa yang tak sempat kulakukan sejak tiba di Andarmensia, yakni melihat langit malam. Terakhir kulihat, jam menunjukkan sebelas lewat sebelas menit. Di waktu selarut ini harusnya kebanyakan orang sudah tidur. Ketika aku berjalan keluar, ada beberapa penunggang yang masih duduk bersama, salah duanya adalah si pemuda korban makian Raelynn dan gadis yang tiba-tiba marah tanpa sebab. Aku berjalan menjauh dari perkumpulan mereka, berusaha mencari jalan menuju pantai.

Dengan tenang, aku berhasil menemukan jalan menuruni tebing. Meski aku bukan penggemar pantai dan pasir, lebih baik aku ke sana daripada bertemu dengan gadis sinting tadi lagi. Tidak ada siapa pun selain aku, angin malam, dan ombak. Sayang sekali aku tak punya jaket. Bisa kupastikan aku akan kembali dalam beberapa menit atau terancam kedinginan bila di sini terus.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang