[34]

649 133 7
                                    

Tadi malam rasanya seperti mimpi.

Menangis karena mimpi sudah menjadi hal yang lumrah. Kadang aku memimpikan Grandpa, mengingat saat-saat menyedihkan ketika dia meninggal dulu. Kadangkala aku memimpikan Granny sudah tiada karena hal-hal buruk, atau anggota keluargaku yang lainnya mengalami hal serupa. Aku selalu bangun dengan bantal basah akibat air mata. Biasanya aku lanjut menangis sampai akhirnya tenang dan tertidur lagi.

Pantulan diriku di cermin membuatku ngeri. Kulihat seorang gadis dengan bekas goresan panjang di wajah ditambah mata yang sembab akibat menangis semalaman. Belum lagi rambut yang acak-acakan berpadu dengan wajah pucat. Dengan tampilan seperti ini, aku sudah bisa mengikuti pesta Halloween sebagai roh penasaran yang meninggal akibat tertekan beban hidup.

Pintu kamarku diketuk. Kurapikan diri sebisaku dan melatih senyum terbaikku di depan cermin, siapa tahu yang mengetuk adalah Mrs. Salvatore. Aku tak ingin membuatnya cemas. Sambil mempertahankan senyum itu, aku membuka pintu.

Ben sudah kelihatan rapi pagi ini, dan dia membawa nampan berisi beberapa potong roti beserta dua cangkir teh yang masih mengepulkan uap.

Senyumku langsung pudar. Tanpa bicara, aku menutup pintu.

"Tunggu!" Ben menahan pintu dengan kaki, memaksaku membukanya lagi. “Kau... kau tidak mau makan?”

Aku tahu rasa lapar tidak akan membuatku mengizinkan Ben masuk. Akan tetapi, wajah memelasnya yang menjengkelkan itu membuatku tidak tegaan, memaksaku membuka pintu lebih lebar dan membiarkannya masuk.

“Kau masih marah,” Ben menyimpulkan. Dia duduk di kursi dekat jendela sementara aku duduk di ranjang seraya membuang muka. Melihat wajah Ben membuat keinginanku untuk meninjunya semakin besar.  

“Aku tahu semalam aku salah dan aku minta maaf. Aku tidak akan mengikuti apa yang ditawarkan Asmodeus. Bukannya aku sudah berjanji? Aku masih butuh sepuluh jariku,” candanya. Aku bisa membayangkan raut jahilnya sempat muncul lalu hilang dengan cepat ketika melihatku tak membalas, atau sekadar menoleh. “Aku tidak pernah membuat seorang gadis menangis.”

“Jangan khawatir, kau bukan orang pertama yang membuatku menangis."

“Aku tidak mau menjadi salah satunya,” dia membalas muram. "Aku memang marah, tapi, aku tidak ingin marah kepadamu."

Mendengar jawabannya membuatku berusaha untuk duduk tenang dan bernapas. Kuusahakan agar pikiranku lebih jernih. Sebenarnya salahku juga karena terlalu menekannya. Ben benar, seharusnya aku memikirkan posisinya saat ini. Kalau aku jadi dia, aku pun ingin menerima tawaran Asmodeus. Namun setiap kali mengingat kejadian semalam, mulutku tak mampu bersuara. Bila memaksakan diri, aku hanya menjadi semakin kesal dan mungkin akan menangis lagi.

“Aku juga minta maaf, Ben,” ucapku pada akhirnya. Rasanya sangat sulit namun membuatku lega. “Semalam aku terlalu menekanmu tanpa memikirkan posisimu." Air mata mulai mengaburkan pandanganku. "Hanya saja... aku tidak ingin ditinggal sendirian. Tidak dengan cara seperti ini."

"Kau tidak akan demikian," Ben meyakinkan. "Aku sudah yakin dengan keputusanku, Cass. Aku akan menolak tawaran ini."

Baru kali ini aku berani menatap Ben. Wajahnya memang menunjukkan kesungguhan, tetapi aku masih takut. Aku gagal melindungi banyak orang dan kalau hal yang sama terjadi pada Ben, entah apa lagi yang berguna dari diriku.

Perhatianku teralih pada roti yang dibawa Ben. Daripada terus berkubang dalam pikiranku sendiri, kuputuskan untuk mengambil satu potong roti. Rasa manis dan kelembutan roti itu meredakan sedikit kesedihanku. Begitu aku menggigitnya, roti itu masih hangat, begitu pula cokelat di dalamnya, seakan baru dikeluarkan dari oven. Kuraih cangkir dan menyeruput sedikit teh.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang