[37]

592 130 6
                                    

Aku terbangun ketika mendengar sebuah geraman melintasi telingaku, takut kalau itu bukanlah suara di bawah alam sadar semata melainkan suara makhluk buas sungguhan. Aku buru-buru duduk dan mencari sumber bahaya. Rupanya suara tadi berasal dari Rantha. Naga argo itu masih menggeram rendah dalam tidurnya. Amethyst yang sudah bangun melirikku sejenak, tampak keheranan melihatku mendadak terduduk.

"Kenapa?" tanyanya. "Mimpi buruk?"

Aku menggeleng. "Geraman nagamu membuatku mengira ada Bailes atau semacamnya."

"Di tempat seperti ini tidak akan ada Bailes. Lihat," Amethyst menunjuk pepohonan di sekitarnya. "Bailes hanya muncul di pulau tak berpenghuni yang tandus, bukan yang asri seperti ini. Kurasa mereka lebih suka tempat yang minim makhluk hidup."

Penjelasan tersebut membuatku lumayan lega. Semalam aku sudah terlalu lelah sampai luput mengingat makhluk hitam jelek yang meninggalkan kenangan buruk dalam kepalaku. Pedangku dan sabuk belatiku berada cukup jauh, yang mana akan membuatku mati konyol kalau benar-benar ada serangan Bailes atau hewan liar. Dengan segera, aku meraihnya dan mengenakannya kembali. Setelah bersiap-siap dan mengumpulkan kesadaran, aku menyantap sarapan buatan Amethyst. Langit sudah berwarna biru keabuan walau keadaan sekitar masih sedikit gelap. Udara pun sedang dingin-dinginnya, tetapi keberadaan para naga memberi kami kehangatan. Dante masih terlelap di lekuk leher Lucifer, sementara Amethyst sedang menyantap daging kelinci panggang yang sudah dia masak.

Setelah semuanya bangun, kami berkemas selama beberapa menit sebelum mulai terbang. Kugunakan kesempatan ini untuk bicara pada Dante. "Kau belum memberi tahu alasanmu menyelamatkanku."

"Aku berniat menyelamatkan para naga, dan kebetulan saja melihatmu nyaris tenggelam," kilah Dante. "Kukira kau sudah aman-aman saja dalam perjalanan. Harusnya aku bisa menduga kalau Asmodeus tidak akan membiarkan kau dan Ben pergi ke tempatnya semudah itu."

"Apa dia juga berusaha mempengaruhimu?"

"Tidak juga. Sejak aku kecil, Asmodeus menyelamatkanku bukannya tanpa alasan," Dante berujar pahit. "Semengerikan apa pun keinginannya, aku tidak punya keberanian untuk melawan."

"Dan sekarang kau punya?"

Dante terlihat ragu. "Selama ini, aku begitu bangga dengan statusku sebagai penunggang naga. Membayangkan diriku selamat berkat seorang penyihir seperti Asmodeus membuatku muak. Kalaupun aku harus mati, setidaknya aku ingin mati sebagai seorang penunggang, bukannya pengecut."

Kata-katanya membuatku terkesan. Seumur-umur, aku tidak pernah membayangkan seorang perudung seperti Dante rela menghadapi rasa takut dan mengorbankan keuntungan yang dia miliki demi melakukan hal yang benar. Barangkali dia memang sudah lelah pada Asmodeus dan sedang mencari cara melepaskan diri. Apa pun alasannya, aku jadi sedikit mengapresiasi Dante, walau kekesalanku terhadapnya tak akan pernah bisa terhapusnya. Tidak bisa kubayangkan akan semarah apa Beast kalau mengetahui dalang di balik masalah yang menimpanya.

Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan. Kami terbang selama beberapa jam dengan pemandangan monoton. Dante dan Amethyst diam sama. Bahkan para naga terlalu fokus terbang sampai memilih diam saja demi menghemat energi.

Pagi berubah kembali menjadi malam. Kami semua setuju untuk beristirahat ketika menemukan pulau. Nyatanya, menjelang siang di hari berikutnya, kami baru menemukan pulau kosong untuk disinggahi. Tanpa banyak basa-basi, Dante dan Amethyst langsung membaringkan diri untuk tidur, begitu pula naga mereka. Hanya aku dan si naga ur yang masih terduduk, tidak tahu harus berbuat apa.

"Kau tidak mau tidur?" tanyaku, pada naga ur di sebelahku.

Naga ur itu menggeleng. "Kendati lelah, sulit untuk tidur saat ada orang gila di luar sana yang menculik para naga entah untuk tujuan apa."

Jangankan naga ur ini, aku pun tidak bisa beristirahat setiap kali memikirkan Beast ada di tempat asing bersama naga lainnya, tidak tahu akan diapakan.

"Apa kau akan kembali ke duniamu setelah ini?" tanya naga ur itu.

Aku menggeleng samar. "Sekarang aku tidak perlu khawatir soal keluargaku."

"Kenapa? Mereka mengizinkanmu tinggal di sini?"

"Seandainya saja begitu."

Naga itu memandangku dengan heran. "Maaf, tapi aku tidak paham."

"Ceritanya lumayan panjang," aku berkata. "Intinya, kita tidak perlu memikirkan soal itu dulu. Yang perlu dicemaskan adalah Beast."

Naga ur itu berbaik hati menyudahi percakapan soal keluargaku, membuat kami sama-sama terdiam. Di tahap ini, aku mencoba untuk tidur. Akan tetapi setiap kali memejamkan mata dan membayangkan nagaku, langsung saja rasa kantuk itu terusik dan aku akan mulai bertanya-tanya apakah Beast baik-baik saja; apakah dia sudah makan; seperti apa dia diperlakukan saat ini; bagaimana kalau aku terlambat sedetik saja ke tempatnya berada; dan ribuan pertanyaan lain yang semakin membuatku yakin kalau istirahat bukanlah keputusan yang tepat di saat seperti ini. Kelihatannya naga ur di sebelahku pun mencemaskan pikiran-pikiran serupa.

"Siapa namamu?" tanyaku demi mengusir kesunyian.

"Naga liar tidak punya nama."

"Lalu bagaimana kalian menyapa satu sama lain?"

"Entahlah. Rasanya itu terjadi dengan biasa saja. Cukup panggil kau, aku, si iltas itu, si ur itu. Kami sudah terbiasa."

"Apa aku boleh memberimu nama?" tanyaku. "Supaya lebih mudah memanggil."

Aku khawatir si ur akan tersinggung tatkala mendengar saran tersebut, tetapi di luar dugaan dia menoleh ke arahku dengan sorot tertarik di matanya. "Nama, ya? Boleh saja. Kau akan menamaiku apa?"

Benakku berpikir sesaat, mencoba menyusun huruf-huruf menjadi rangkaian nama. "Bagaimana kalau... Avru?"

Naga ur itu mempertimbangkannya. "Aku tidak ahli soal nama, tapi Avru terdengar indah. Aku suka Avru."

Kami sama-sama menoleh ke belakang tatkala mendengar suara dengkuran, yang ternyata berasal dari Rantha. Para penunggang tidur sangat nyenyak walau hanya beralas mantel, sementara naga mereka pun asyik berjelajah di alam mimpi dengan sayap terkulai lelah di kedua sisi tubuh.

"Kita harus pergi," Avru memutuskan. "Beristirahat hanya akan membuang-buang waktu."

Di lain situasi, aku akan menentang pemikiran tersebut. Akan tetapi, karena aku juga kesulitan untuk sekadar tidur, akhirnya kunaiki punggung Avru diam-diam. Aku cukup yakin mau seberisik apa pun diriku, kemungkinan besar Dante, Amethyst, dan kedua naga mereka tidak akan sadar.

"Kau sungguh tidak lelah?" tanyaku. "Maksudku, kau yang harus terbang dan menempuh jarak jauh."

"Untuk sekarang aku masih bisa terbang," jawab Avru. "Dan jangan meragukan kemampuan naga seusiaku, gadis muda. Aku bisa terbang menembus badai kalau mau." Setelah berkata demikian, dia buru-buru meralat, "Yah, mungkin tidak sampai segitunya. Tapi, kuharap kau paham maksudku."

Aku mendenguskan tawa, mengagumi semangat naga ur yang satu ini. "Kalau begitu, ayo selamatkan Beast."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang