[13]

823 162 44
                                    

Kuselesaikan semua doaku sebelum membuka mata. Yang tersisa di sekelilingku hanyalah tanah gosong dan seekor naga yang mendarat di hadapanku.

Setelah makhluk tadi, sekarang naga. Aku berharap dia menyelamatkanku, bukannya berebut makanan dengan makhluk-makhluk tadi. Butuh waktu bagiku untuk menyadari bahwa naga di depanku adalah naga hitam yang kutemui beberapa hari lalu. Kini sayapnya sedikit terbentang di punggung, menambah kesan mengerikan.

Kepala naga itu mendekat dan aku melangkah mundur sedikit. Hanya sedikit. Begitu merasa yakin kalau dia tidak berniat melahapku, aku memilih berdiri diam. Ponselku ada di tanah dengan senter mengarah ke atas hingga menyorot wajah sang naga. Dipandanginya cahaya senter itu lalu dengan kaki depannya, ditamparnya ponselku jauh-jauh hingga menghantam salah satu batu. Senternya langsung padam.

"Aku datang dengan damai." Kuangkat kedua tanganku. "Aku tidak tahu apa-apa. Seorang penyihir mengirimku ke sini dan demi Tuhan, aku tidak tahu apa yang dia mau."

Naga itu memicingkan mata. Dia mulai mengendusku.

Demi apa pun, kukira Benedict Cumberbatch-atau suara siapa pun yang mirip dengan aktor itu-bicara padaku saat naga itu berkata, "Seharusnya kau sudah mati."

Di tengah deru napas dan pacuan adrenalin dalam nadiku, aku memberanikan diri menatap matanya. Sepasang mata ungu itu balas menatapku.

"Kau bicara," aku berbisik.

Dia memicingkan matanya. "Ya, semua naga bicara. Saat kau dengar kami menggeram atau bersuara tidak jelas, mungkin saat itu kami sedang mengatakan sesuatu. Begitulah yang terdengar di telinga kebanyakan orang. Namun, kau berbeda, 'kan? Kau mendengarku bicara dalam bahasa yang kau pahami."

Aku mengangguk. Naga itu akhirnya menjauhkan kepalanya dariku.

"Aku mengira kau tidak akan kembali," ujarnya, "Ke mana saja kau?"

"Ke mana saja aku?" ulangku. "Aku pulang ke rumahku."

"Di daerah mana rumahmu?"

"U-untuk apa kau tahu? Itu bukan urusanmu," aku memberanikan diri menjawab kendati agak tergagap gara-gara masih dilanda pacuan adrenalin.

Naga itu mendengus sinis. "Tentu saja urusanku, terlebih setelah kau membiarkan seorang penyihir mengotak-atik tubuhku."

"Menolongmu," aku meralatnya. "Aku membiarkan temanku menolongmu dengan menumbuhkan kembali sayapmu, dan sihirnya memakai tenagaku. Aku koma tiga hari demi kau, wahai Naga Asing."

"Dari mana asalmu?"

"New Orleans," aku menjawab. "Tidak pernah dengar, 'kan? Karena aku tidak berasal dari sini."

"Lalu dari mana?"

"Dari dunia yang berbeda dimensi dengan dunia ini. Berhentilah bertanya. Apa pedulimu dengan semua ini? Siapa perempuan penyihir itu?" Aku setengah berharap naga ini kenal dengan perempuan asing yang mengirimku kemari.

Naga itu terdiam sejenak. Dia melipat kedua pasang kakinya dan duduk. Kepalanya tak berpaling dariku. "Aku tidak tahu siapa penyihir yang mengirimmu, tapi harus kuakui aku bersyukur dia melakukannya."

"Kenapa?"

"Kalau kuberitahu, giliran kau yang akan banyak tanya."

"Tidak diberitahu pun aku sudah punya banyak pertanyaan. Kenapa aku bisa mendengarmu bicara?"

"Besok saja kuceritakan. Sekarang aku mau tidur." Dia menaruh kepala di atas kaki depannya.

Kupandangi keadaan di sekelilingku, sekaligus memastikan kalau makhluk aneh tadi tidak muncul lagi. "Di mana aku akan tidur?"

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang