“Dua di lengan kiri, satu di lengan kanan. Di mana lagi? Kakimu juga? Aduh, pipimu juga kena sedikit. Bakal berbekas.” Raelynn terdengar lebih cemas dariku saat memeriksa luka yang kuterima hari ini. Dia membalut semuanya dengan baik dan mulai menekan-nekan luka kecil di pipiku dengan lembut menggunakan sehelai kain basah. “Aku turut sedih untukmu karena mendapat pelatih sepertinya.”
Aku mengembuskan napas keras-keras. “Menyebalkan memang, meski harus kuakui aku bersyukur bisa merasakan luka-luka ini.”
“Mengapa demikian?” Raelynn tampak heran.
“Aku tidak akan terbiasa dengan luka kalau Dante tidak pernah melatihku.” Kuperhatikan lenganku serta air yang telah kotor oleh darah di dalam sebuah mangkuk kayu. “Walau berlatih dengan Ben tetap yang terbaik.”
“Tentu saja.” Raelynn mengeluarkan suara rengekan. “Kenapa mereka harus membawanya pergi? Cuma gara-gara dia setengah penyihir, semua kesalahan jatuh padanya.” Raelynn pura-pura mengeluarkan suara tangisan sambil memelukku erat. Perlahan, aku mendorongnya menjauh.
“Kau ini benaran naksir sampai segitunya,” kataku. “Aku bisa membantumu memberitahu Ben kalau dia kem—”
“JANGAN!” gadis itu langsung berteriak. Aku melotot heran ke arah Raelynn karena menarik perhatian ke arah kami, bahkan turut membangunkan beberapa orang yang sedang beristirahat di rumah pengobatan. Gadis itu meringis. “Aku tidak yakin Ben akan kembali, Cassie. Orang-orang membicarakannya. Kalau dia ingin menghindari masalah lebih lanjut, banyak yang menyarankan agar dia pergi dari Matumaini atau semua tuduhan akan terus dilayangkan kepada Ben meski dia tidak bersalah.”
“Siapa yang membawanya pergi?” tanyaku.
“Kurasa orang-orang dari pihak dewan. Roan pergi bersama mereka untuk mengawasi proses interogasi. Tidak tahu kapan mereka akan kembali.”
Perlahan aku turun dari ranjang dan berjalan pergi. “Terima kasih sudah membantuku.”
“Tidak masalah,” balasnya. "Kalau kau terluka lagi, cari saja aku."
Begitu berada di luar, aku memandang langit siang dengan lesu. Masih ada setengah hari lagi yang harus kuhabiskan dengan Dante. Mengingat pemuda itu sibuk melatihku, pasti anak-anak yang menjadi muridnya akan sangat senang karena satu penderitaan mereka berkurang.
Setelah makan siang, aku bergegas menuju padang lagi. Beast dan Lucifer sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Sementara Lucifer tertidur, jauh di belakang, Beast tengah memandangi kupu-kupu bersayap biru yang mengitari kepalanya. Kupu-kupu itu mendarat di hidung Beast, membuat naga itu mendengus untuk mengusirnya. Aku menunggu sampai kupu-kupu itu terbang pergi atau aku akan menjadi target selanjutnya untuk diganggu.
“Setelah laba-laba, sekarang kupu-kupu,” komentar Beast begitu aku mendekatinya. "Makhluk itu lebih kecil darimu."
“Makhluk kecil bersayap mengerikan itu? Tidak, terima kasih.” Aku bergidik. "Omong-omong, Dante belum kembali?”
“Belum kelihatan sejak tadi,” balas nagaku, acuh tak acuh. “Lukamu sudah dibalut?”
Aku mengangguk. “Dibantu Raelynn."
“Rupanya gadis itu berguna selain banyak bicara.” Pandangan Beast terarah ke belakangku, tepat ke arah Lucifer. “Kusarankan kita tidak bicara keras-keras. Sepertinya dia pura-pura tidur.”
“Kalau dia tahu aku punya Telinga Naga, biar saja. Lagi pula Dante tidak bakal mengerti.” Aku terkikik geli memikirkan hal tersebut.
"Oh, sekarang kau sudah bisa berpikir begitu?" Beast turut terkekeh. "Kau benar. Mau dia meraung-raung pun penunggangnya tidak akan mengerti. Paling dia hanya dianggap gila."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...