[5]

866 162 4
                                    

“Dari yang kudengar, mereka menambah dosis obat bius lebih banyak daripada tahun sebelumnya.”

“Gadis-gadis malang. Aku ingat tetanggaku pernah mengalami hal yang sama. Walau tidak ada ruginya bekerja dengan para penunggang. Mereka tahu cara memperlakukan pekerja seperti kita.”

Serbuan rasa sakit menguasai kepalaku. Rasanya otakku akan meledak sesaat lagi. Setiap sarafku menjerit seiring usahaku untuk bangun. Apa pun yang kutiduri bergoyang ke sana kemari. Belakangan baru kusadari bahwa aku berada di dalam kapal. Perlu usaha keras demi mencapai kesadaran penuh, bahkan sekadar bicara pun rasanya sangat sulit karena tenggorokanku serasa terisi pasir.

“Kau sudah bangun, Nak?” tanya seseorang. “Gadis malang. Kau tidur selama tiga hari.”

“Di mana ini?” tanyaku, susah payah.

“Kapal Angel's Sea," nama yang indah, tetapi pria itu melanjutkan, "kita dibawa untuk dipekerjakan."

"Dipekerjakan?” Aku mulai histeris. "Dipekerjakan ke mana? Aku tidak mau!"

“Aku tahu ini sulit diterima, terlebih olehmu,” seorang wanita paruh baya berucap prihatin. Di sebelahnya, seorang pria yang juga paruh baya turut mengangguk. "Kita akan bekerja dengan para penunggang. Tidak usah khawatir, mereka orang-orang yang baik."

“Dari reaksimu, kutebak mereka mengambilmu dari pesta musim panas.” Si pria berdecak kasihan. “Selalu begitu tiap tahun. Tetangga kami, si cantik Bernadette, juga mengalami hal yang sama. Dia baru kembali setahun kemudian setelah mendapat izin dari majikannya dan syukurlah hasil jerih payahnya cukup untuk biaya sekolah adik-adiknya.”

“Tunggu, aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan.” Kupegang kepalaku dengan dua tangan. “Lagi-lagi mimpi buruk. Pasti karena aku panas dalam atau semacamnya. Sebentar lagi aku akan bangun.”

“Tidak apa-apa, Nak. Keluargamu akan diberitahu soal ini. Terkadang para penyedia tenaga kerja memang terpaksa menculik seseorang kalau mereka tidak memenuhi kuota."

"Kuota apa?" tanyaku.

"Orang-orang yang ingin dijadikan sebagai pekerja. Kau tahu, 'kan? Kelompok penyedia tenaga kerja menjadi wadah untuk manusia biasa seperti kita yang tidak punya pekerjaan, kemudian menyalurkannya ke penunggang atau penyihir yang membutuhkan. Dengan demikian, kita bisa bekerja dan uangnya dapat dikirimkan pada keluarga kita," jelas wanita itu.

"Jadi secara tidak langsung kita ini budak?" Suaraku terdengar melengking, seakan aku baru menghisap helium.

"Aduh, budak itu terdengar terlalu kasar," tegur si wanita. "Kita hanya menjadi pekerja biasa. Walau para pengusaha itu sering memakai cara licik agak bisa memenuhi kota, tapi percayalah, pekerjaan ini tidak terlalu buruk. Omong-omong, aku Giselle.”

“Aku Absolon, kakaknya,” ucap si pria sambil menunjuk Giselle. “Kau?”

“Cassidy,” balasku, “dan seharusnya aku tidak berada di sini. Aku bahkan bukan dari Andarmensia. Aku cuma mau liburan musim panas sebentar di sini, bukannya malah dijadikan budak atau pekerja atau apa pun itu untuk penunggang—maaf, penunggang apa tepatnya?”

Giselle dan Absolon saling pandang. “Penunggang apa lagi? Tentu saja penunggang naga.”

Di situasi lain, aku bakal takjub dan berharap bisa cepat-cepat bertemu yang namanya penunggang naga, berharap mungkin salah satu dari mereka mau berteman denganku dan mengenalkanku pada naga mereka. Namun, aku sudah belajar bahwa realitas tidak selalu seindah ekspetasi. Ditambah, secinta apaa pun pada naga, aku juga mencintai kebebasanku. “Bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini?”

Giselle dan Absolon kembali memberiku tatapan prihatin mereka. “Tidak ada, Cassidy. Setelah ini para penyedia tenaga kerja akan menginformasikan soal dirimu kepada kepala desa tempat kau berasal, dan kalau keluargamu ingin kau kembali, mereka harus membayar tembusan.”

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang