[9]

824 158 25
                                    

Selama hampir lima hari aku bekerja di Matumaini, tidak ada tanda-tanda dari Immy. Aku ragu dia masih ingat keberadaanku di dunia ini. Atau dia sedang mengawasiku dari semacam bola kaca, tertawa setiap kali pinggangku sakit atau saat aku mengeluh lelah, atau ketika Raelynn kembali merecokiku dengan mulut berisiknya-walau lama-lama aku terbiasa dengan hal itu.

Aku suka bekerja sambil mendengarkan sesuatu. Berhubungan di sini tidak ada ponsel untuk memutar musik atau semacamnya, semua yang keluar dari mulut Raelynn cukup menggantikannya. Terlebih lagi aku baru tahu kalau dia bisa bernyanyi. Maka daripada menyia-nyiakan kesempatan itu, aku menyuruhnya bernyanyi saat kami bekerja, dan dia tidak menolak. Aku tidak tahu lagu-lagu apa yang dia nyanyikan. Semua dalam bahasa yang tidak kumengerti. Melodinya membuatku memikirkan pegunungan, hutan, padang rumput, dan semua hal yang menyenangkan.

"Kalau dari kemarin kau bernyanyi, aku pasti mau jadi temanmu," celetukku setelah kami selesai membersihkan salah satu kabin.

Dia mengedikkan bahu. "Siapa tahu kau tidak suka musik."

"Omong kosong. Siapa, sih, yang tidak suka musik?"

"Ibuku tidak suka." Raelynn terdiam. Gerakannya pun ikut terhenti. "Sejak kecil, ibuku selalu dipaksa bernyanyi dan menari, menghibur tamu-tamu di kedai orang tuanya. Kurasa itu sebabnya dia muak pada musik."

Raelynn mengangkat ember kosong beserta sikat di dalamnya sementara aku membawa sepasang sapu dan pel, kain lap tersampir di pundakku. Kami telah menyelesaikan pekerjaan dan keluar dari kabin dalam diam.

Aku memutar otak dengan tergesa-gesa, berusaha mencari topik pembicaraan untuk menghindari suasana canggung. Tiba-tiba Raelynn mencengkram tanganku dan menunjuk ke depan. "Lihat bajingan-bajingan itu," bisiknya. Ya, dia memang gadis manis nan cerewet, tapi orang-orang harus dengar dia memaki. Rasanya seperti gadis imut dari serial animasi Jepang yang bertransformasi menjadi Dwayne Johnson.

Beberapa meter di depan kami, kulihat Dante menyambar kerah baju Ben dengan kasar. Seorang pria tua berdiri di belakang Ben sambil memegangi ember. Kepalanya tertunduk dalam, tidak tahu harus berbuat apa selain diam dengan tubuh bergetar. Aku sudah bisa menebak permasalahan yang terjadi bila menebak dari bagian bawah celana Dante yang basah oleh air.

Dante mengatakan sesuatu tepat ke telinga Ben dan pastinya bukan kata-kata manis atau penyemangat. Di sekeliling Dante, teman-temannya berkumpul, termasuk Amethyst. Kaia menggeram rendah ke semua penunggang itu tapi dia tak melakukan apa pun. Aku yakin naga itu ingin menolong sang penunggang, karena niatnya terlihat jelas dari matanya.

"Kenapa lagi, sih?" tanyaku, merasa lelah.

"Sudah kubilang Ben baik ke semua orang," bisik Raelynn. "Selain itu, kau lupa Ben setengah penyihir?"

"Lalu kenapa dia tidak melawan?"

Raelynn menyikutku dengan kesal, membuatku meringis. "Kalau dia melawan, bisa-bisa dia malah disalahkan.

"Oh." Aku langsung menyadari maksud Raelynn, serta kondisi Ben yang serba tidak memungkinkan. "Oh, sial."

Raelynn memandangku dengan tatapan tak percaya, "Kukira kau tidak akan pernah memaki."

"Aku berusaha menahan diri," gumamku. "Tidak bisakah naganya melakukan sesuatu?" Saking frustasinya, aku memperkuat cengkraman pada sapu dan pel "Kalau aku jadi naganya, akan kumakan Dante."

"Kita harus menghentikannya," cetus Raelynn.

"Bagaimana?"

"Mana aku tahu!" gadis itu membalas. Teman-teman Dante tertawa kian keras. Setiap kali Ben berusaha bangun, Dante akan mendorongnya kembali, bahkan menekan kakinya ke pundak pemuda itu. Orang-orang hanya berhenti sebentar untuk melihat tetapi mereka tak melakukan apa pun. Raelynn menambah, "Tidak mungkin Ben tidak bisa melawan. Dia punya otot yang keren."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang