[26]

635 129 16
                                    

Hari ketika orang tuaku bercerai, aku tetap bersekolah.

Aku tak berminat mengambil izin demi menghadiri sidang itu. Risiko dari keputusanku adalah, sudah tiga guru yang menegurku, dari tiga kelas berturut-turut. Sekarang aku dipanggil ke ruangan Bimbingan Konseling. Ini agak memalukan, karena seumur hidup aku tidak pernah melakukan apa pun yang mengharuskanku masuk ruangan ini.

“Cassidy,” sapa Miss Tabott, “Silakan duduk.” Dia berbasa-basi singkat sebelum masuk ke kata-kata pamungkasnya, “Kalau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku.”

“Saya baik-baik saja,” balasku. "Orang tua saya bercerai hari ini. saya sedikit memikirkan soal itu.”

“Oh,” ia menunjukkan wajah prihatin. “Oh, Cassie. Aku benar-benar minta maaf. Ini pasti berat untukmu. Kalau kau mau, kau bisa pulang dan mengambil izin. Kau tahu, untuk menenangkan diri.”

Aku menggeleng kecil. “Terima kasih, Miss. Saya tidak perlu izin. Setelah ini, saya akan lebih fokus mengikuti pelajaran.” Aku mencengkram tali tasku erat-erat. “Jadi, saya sudah boleh pergi?”

“Ya, tentu saja.” Dia berdiri bersamaan denganku. “Kalau kau butuh teman bicara, aku ada di sini. Oke?”

Aku mengangguk, memberinya senyum singkat dan berjalan keluar. Beberapa temanku langsung datang menghampiri, ingin tahu apa yang mengusikku seharian ini. Dari sekian banyak orang, hanya Immy yang kuberi tahu masalah sebenarnya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari perceraian Mom dan Dad. Hidup kami bertiga menjadi lebih mudah setelahnya. Namun, tetap saja ada sesuatu yang sudah hilang; sesuatu yang tidak bisa kami kembalikan lagi dan meninggalkan kekosongan di dalam hati.

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

Pagi itu mendung. Selama aku di Matumaini, bisa dibilang ini akan jadi hujan pertamaku. Guntur sudah bergemuruh saat aku mengitari kandang naga pagi itu. Udara lebih dingin dari biasanya, membuatku melapisi diri dengan beberapa helai pakaian. Kalau di rumah, aku pasti masih bergeming dalam kenyamanan selimut, apalagi kalau ini hari libur. Aku akan menempel pada kasur seharian, meminta tolong nenekku membuatku teh manis hangat sementara aku menonton YouTube. Dia akan mengomel tentang betapa malasnya diriku dan aku hanya bisa nyengir kepadanya.

Mimpi semalam membuat olah raga hari ini terasa menyenangkan. Ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk mengalihkan pikiran. Aku hampir berhasil menyelesaikan satu putaran dengan lancar sebelum akhirnya mulai kehabisan tenaga. Kupaksakan diri untuk berlari hingga batas kelelahanku. Hari ini, aku yakin telah menyelesaikan lari lebih cepat dari biasanya.

Aku berjalan santai ke padang rumput. Keadaan langit yang gelap membuatku baru sadar kalau Beast sedang terlelap di area latihanku. Aku penasaran apakah dia tidak merasa dingin, atau api di dalam dirinya terasa seperti perapian di dalam perut. Tapi, Ben pernah memberi tahu kalau sisik naga agak sulit merasakan sesuatu, kecuali pada bagian tertentu yang lebih sensitif, misalnya di dekat telinga. Membayangkan Beast memakai penghangat telinga membuatku menahan tawa.

“Beast,” panggilku. “Bangun dan bersinarlah, Putri Tidur.”

Dia bergeming, barangkali masih terlalu lelah untuk sadar. Melihatnya belum bangun, aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Kutepuk kepalanya perlahan, berharap dia tidak refleks terbangun karena terkejut dan malah menyemburkan api ke arahku.

Butuh waktu bagiku untuk menyadari bahwa Beast tidak bergerak sedikit pun. Kudorong dia lebih keras lagi. "Beast?"

Tidak ada balasan. Aku menyentuh bagian cuping hidungnya. Cukup lama tanganku diam di sana dan tidak kurasakan embusan napas. Saat kesadaran mulai menyelinap ke dalam benakku, aku menarik tanganku menjauh dengan napas tercekat. “Beast, kalau kau berniat mengerjaiku, ini sama sekali tidak lucu!” Tidak ada jawaban. Aku mendorong kepalanya dengan segenap tenaga, membuatnya bergerak sedikit, lalu tidak ada gerakan lagi.

“Oh, tidak,” bisikku. “Tidak, tidak, tidak. Beast?” Aku mengguncangnya lebih keras. “Beast? Beast!” Masih tidak ada jawaban. Pikiranku mulai kacau, seolah sel-sel otakku sibuk mencari cara untuk tetap tenang tapi akhirnya mereka malah bertikai, membuatku hampir tak tahu harus berbuat apa.

Aku berlari secepat yang kubisa menuju kabin Roan. Kugedor pintu kabinnya keras-keras. Rasanya perlu waktu setahun untuk sampai akhirnya dia membuka pintu dengan keras. Tatapannya penuh tanya sekaligus tampak kesal.

“Beast,” kataku, hampir lupa apa yang ingin kusampaikan, “dia tidak bernapas. Kau harus memeriksanya.”

Seketika ekspresi marahnya luntur dari wajah. Kini giliran Roan yang tampak panik. “Di mana nagamu?”

“Di padang rumput.” Tanpa basa-basi lebih lanjut, dia langsung menyeretku pergi ke arah padang. Mungkin inilah pertama kalinya aku tidak merasa lelah walau sudah berlari bolak-balik.

Kuharap naga itu sudah bangun, menatapku dengan raut puas sambil berkata, “Kena kau.” Aku bakal tertawa sekalipun itu lelucon terburuk yang dimainkan oleh Beast. Sesampainya aku dan Roan di sana, dan bahkan ketika pria itu menyentuh Beast untuk memeriksa pernapasannya, naga itu tetap diam.

Roan memeriksa beberapa bagian tubuh naga itu, mulai dari leher, dada, bahkan mengetes apakah naga itu masih mengembuskan napas atau tidak dengan meletakkan tangan di depan hidung, seperti yang sudah kulakukan. Hingga akhirnya, tangan pria itu terkulai di samping tubuhnya.

Roan menoleh ke arahku dengan gerakan kepala yang berat. Tatapannya tampak lemah sekaligus penuh penyesalan. Melihat ekspresi itu, aku tidak butuh penjelasan darinya lagi.

Beast sudah tiada.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang