Ketika kembali ke kabin, tidak ada siapa pun di dalam. Tidak ada penunggang yang menghabiskan waktu siang hari di dalam kamar, kecuali mereka sakit. Aku sudah meminta tali berukuran kecil dan gunting pada salah seorang pekerja supaya bisa membuat kalung. Karena sulit menemukan gunting, dia memberiku belati kecil.
Beast terbang ke padang rumput, meninggalkanku sendiri di kabin. Aku mulai berkutat dengan tali dan tiga batu, mencoba beberapa cara mengikat pecahan batu dengan tali dan menjadikannya sebuah kalung berbandul tiga yang layak pakai. Seandainya ada ponselku dan internet di tempat ini, pastinya tidak akan sulit. Otakku berpikir keras sampai akhirnya aku menemukan cara mengikat yang terbaik, walau tetap saja kelihatan agak jelek. Di saat aku tengah semangat berkreasi, belati itu menggores tanganku sedikit, menyebabkan cukup banyak darah mengalir keluar. Sambil berusaha untuk tidak panik dan mengagetkan seisi Matumaini, aku mencuci lukaku dan membalutnya dengan kain.
Setelah beberapa menit, kuangkat kalung yang sudah jadi itu. Batunya memang berbentuk kasar, tapi indah. Aku menangkupkan tanganku di sekelilingnya dan menggenggam batu-batu itu, memastikan tidak ada bagian yang tajam. Samar-samar aku bisa mendengar alunan nada. Meski jauh di dalam kepalaku, suara itu tetap terdengar cukup nyata. Begitu aku melepas genggaman dari batuan gua naga itu, suara barusan ikut hilang.
Kuputuskan untuk mencari tahu nanti saja. Jam latihanku akan dimulai dalam lima belas menit dan aku tak ingin push-up untuk ketiga kalinya pada hari ini.
Ben sudah duduk duluan di tempat latihan, sedang sibuk membersihkan tubuh Kaia dengan peralatan khusus di dekatnya. Naga itu memejamkan mata, mengistirahatkan kepalanya di tanah. Di sebelah mereka, Beast duduk manis, sibuk memperhatikan sesuatu di tanah. Tidak terjadi cekcok sejauh yang kulihat karena kedua naga sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Serius sekali kau,” kataku pada Beast. Naga itu mengembuskan asap hitamnya ke arah objek yang diamati. Aku menundukkan badan ke arah tanah untuk ikut melihat. Hanya butuh waktu kurang dari tiga detik bagiku untuk melompat mundur. Jantungku langsung jumpalitan kala melihat laba-laba dengan panjang sekitar sepuluh sentimeter merayap di tanah. Makhluk itu mulai menggelepar karena efek asap halusinasi. Aku mengerang jijik tatkala menyaksikan laba-laba itu mengejang ke sana-kemari. “Apakah ada banyak laba-laba di pulau ini?”
Ben menoleh ke arahku. "Laba-laba?"
"Ya, antropoda berkaki delapan itu. Apakah banyak laba-laba sebesar sepuluh sentimeter di sini?"
“Yang sebesar itu sih kadang-kadang saja,” cetus Ben. “Biasanya cuma yang berukuran kecil. Tidak berbahaya pula.”
“‘Kecil’ dalam standar kalian itu sebesar apa?”
“Palingan hanya berukuran lima sentimeter.”
Aku stres seketika. Laba-laba berukuran satu sentimeter saja sudah mengusik hidupku. Laba-laba lima sentimeter mengancam hidupku di pulau ini.
“Kau takut laba-laba,” tebak Ben. “Jarang sekali ada perempuan yang takut laba-laba di Matumaini. Kalaupun takut mereka tetap berusaha melawannya. Aku yakin ada suatu cara menghilangkan ketakutanmu—”
“Kalau itu terapi yang berhubungan dengan menyentuh laba-laba, maka tidak, terima kasih.” Aku berjalan ke arah Beast dan naik ke atasnya. “Aku tidak mau duduk di rumput lagi.”
“Dasar penakut,” ejek Beast. “Bahkan kau lebih besar dari laba-laba itu.”
“Ejek saja aku sepuasnya. Kau tidak akan mengerti rasanya punya fobia.”
“Ada apa dengan jarimu?” tanya Beast. “Pasti karena kecerobohanmu.”
“Tebakan jitu. Seharusnya aku tidak usah pakai belati. Aku ingat dulu pernah—” Aku terdiam. Rasanya ada sesuatu yang salah namun aku tak tahu apa itu. Jawabannya kudapatkan saat melihat Ben sedang memandangiku dengan kening mengkerut dalam.
“Kau bicara dengan siapa?" tanya Ben.
“Ah, ini dia." Beast mendesah kecewa, walau terdengar agak dibuat-buat. “Akibat dari kebodohanmu.”
Ya, pastinya selalu aku yang salah. Beast tidak bersalah walau dia yang paling sering memicu perkelahian. Luar biasa.
"Kau bisa mendengarnya bicara," ucap Kaia, tampak terperangah.
“Saranku, sih,” Beast menambah, “kau pura-pura gila saja."
“Hei, kau lupa di sini ada siapa,” balas Kaia dengan nada datar.
“Memang kau bisa memberitahu penunggangmu?” tanya Beast. "Coba beri tahu dia kalau bisa."
Aku tahu tak ada gunanya berbohong. Masalahnya kejadian tadi sudah terlihat jelas dan Ben masih menanti jawabanku. Mau tak mau, aku mengatakan yang sebenarnya. "Beast bilang aku punya Telinga Naga." Mata Ben melebar begitu mendengarnya. Aku buru-buru menambahkan, "Jangan beri tahu yang lain, ya?"
“Memang kepada siapa juga aku mau memberi tahu? Palingan hanya Theo yang percaya, lalu semua orang akan menganggap kami bicara omong kosong.” Ben tertawa pelan. “Bagus untukmu karena kau punya Telinga Naga. Akan lebih mudah untuk bekerja sama dengan nagamu."
Reaksi Ben jauh lebih tenang dari dugaanku, setelahnya dia kembali mengurus naganya. Kaia tampak senang setelah Ben selesai menyikatnya. Naga itu menjilat wajah Ben, membuat sang penunggang tertawa keras.
Aku menatap Beast bersamaan ketika dia yang menatapku.
“Apa lihat-lihat?” tegur nagaku. "Mau kujilati juga?”
“Tidak usah,” tolakku. “Aku tidak butuh jilatanmu itu.”
Setelah Kaia terbang untuk jalan-jalan sebentar, Ben mengajakku lanjut berlatih. "Besok aku akan mulai memberimu serangan-serangan mudah untuk ditangkis," dia mengumumkan.
“Berarti besok aku mulai melawanmu dalam berlatih pedang?”
“Cuma menangkis saja. Nanti setelah gerakannya lumayan terlatih, kau akan mulai belajar cara menyerang dan melucuti pedang lawan.” Ben berkacak pinggang. "Latihan pedang itu seru, kok.”
“Sampai akhirnya perutmu terbelah, aku mau tahu apakah berpedang masih terdengar seru,” celetuk Beast. Aku tidak tahu bagaimana reaksiku kalau aku benar-benar tersabet pedang sungguhan. Tergores saja membuatku sedikit panik. Kukira aku akan menangis kalau tertikam. Mungkin, aku malah tidak punya waktu untuk beraksi dan langsung mati.
Untuk saat ini, lebih baik kuenyahkan pikiran-pikiran buruk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...