[31]

628 133 10
                                    

Aku tak tahu harus berterima kasih atau memaki Avyana. Keluar dari portal, aku terjun menuju laut biru nan indah. Well, kurasa sisi baiknya aku tidak menghadapi daratan berbatu atau kawah gunung berapi yang masih aktif. Keduanya akan jauh lebih buruk.

Tetap saja, aku benci teleportasi antardimensi.

Di detik-detik terakhir sebelum menghantam air, aku mengambil napas serta memperbaiki posisi jatuhku agar tidak mati ayam. Aku cukup yakin kalau jatuh dalam posisi tidak tepat ke dalam air dapat berakibat fatal. Berhubung aku pernah melihat atlet renang di televisi beberapa kali, kucoba untuk meniru posisi tubuh mereka.

Kupikir tubuhku berhasil bertahan dari hantaman yang terlalu keras tatkala bertemu dengan air. Kendati demikian, aku justru ingin cepat-cepat menarik napas gara-gara pacuan adrenalin yang sudah terasa di sekujur tubuhku. Hal pertama yang kucari adalah permukaan. Berhubung air di lautan ini masih jernih, aku bisa melihat perahu tak jauh dari tempatku berada.

Tabrakan beruntun di punggung membuatku berjengit, terlebih saat segerombolan ikan muncul di sekitarku. Ketika mereka lewat, aku menoleh ke belakang untuk memeriksa, khawatir ada hiu atau ikan besar lainnya yang mengejar mereka. Di luar dugaan, aku justru berhadapan dengan seekor naga ur.

Naga itu terhenti tatkala melihatku dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Aku menunjukkan jari ke arah atas, mengisyaratkan bahwa aku perlu segera naik. Dia membiarkanku meraih punggungnya dan berenang ke arah permukaan. Udara dingin langsung membungkusku begitu kami tiba di atas, memberiku kesempatan bernapas lega.

"Cassie!" Naga itu memekik. Aku langsung tahu itu Kaia setelah mendengar suaranya. Kuberi dia pelukan dan tepukan di punggung. Untuk sekarang aku masih belum mampu bicara. Perasaan mual mulai mengancam sistem pencernaanku lagi. Aku duduk cukup lama diatas punggung Kaia, menenangkan diri sekaligus menahan muntahan.

Tahu-tahu perahu yang tadi kulihat sudah berada di sampingku. Aku sempat melihat wajah Ben dan wajah seorang pria di depannya sebelum membalikkan kepala ke arah lain dan muntah ke laut.

"Demi dewa," pria itu berseru. "Kau baik-baik saja?"

"Cassidy?" Kudengar Ben menyebut namaku.

"Kau kenal gadis ini, Ben?"

"Dia temanku." Entah sejak kapan, Ben sudah berada di sampingku, menepuk punggungku perlahan. Aku menggerakkan tangan ke arahnya, menyuruhnya menjauh. Sebisa mungkin kuambil waktu untuk menarik napas, lalu menenangkan diri dari serangan pusing yang melanda kepala.

Begitu menoleh ke arah Ben, tak tampak banyak perubahan darinya. Rambutnya mungkin sedikit terlihat lebih panjang. Bau amis tercium kentara sekali dari arahnya, membuatku mual lagi. Syukurlah aku bisa menahannya. Ben pun langsung menyadari hal tersebut dan sedikit menjauhiku.

"Hei, Ben!" Pria tadi berseru. Setelah merasa lebih tenang, aku bisa mengamati wajah pria itu dengan lebih jelas. Dia kelihatan seperti versi tua dari Ben, dengan rambut yang sama panjangnya seperti sang anak, tetapi berwarna sedikit lebih kelabu. Matanya kebiruan, seperti sisik naganya. Janggut mulai tumbuh lagi di dagunya. Warna kulit pria itu lebih gelap dari Ben. "Kalau temanmu sudah selesai muntah, sebaiknya kita bawa dia ke rumah."

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

Aku hampir tak bisa menahan rahangku begitu melihat ibu Ben.

Dia luar biasa cantik. Rambutnya sama seperti dua anggota keluarga yang lain, yakni berwarna hitam, tapi miliknya berkilau seperti porselen, membuatku yakin dia akan menjadi pengiklan sampo yang mumpuni. Matanya sama seperti Ben, perpaduan antara warna biru pirus dan biru tua, terlihat berkilauan dan jernih. Senyumnya amat hangat dengan bibir tipisnya yang merona.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang