[29]

621 132 13
                                    

Aku sering memikirkan berbagai skenario dalam hidupku. Akan tetapi dari sekian banyak skenario, tidak pernah kubayangkan aku pergi ke dunia di dimensi lain hanya untuk pulang dan mendapati bahwa keluargaku tidak mengingatku, dan aku tidak pernah ada dalam hidup mereka.

Aku sudah berusaha menghubungi orang-orang yang kukenal selama dua puluh menit, berbekal bantuan telepon umum dan kontak dari ponsel jadul Dad yang untungnya masih bisa dibuka. Rata-rata menjawab hal yang sama. Maaf, sepertinya anda salah sambung atau aku tidak punya teman bernama Cassidy, atau yang terburuk adalah mereka langsung mematikan sambungan telepon. Meski sempat merasa jengkel, kalau kupikir lagi, aku akan melakukan hal serupa bila seorang gadis asing meneleponku, mengaku-ngaku sebagai kenalanku.

Rasa lapar mulai menyergapku sehingga aku membeli roti dan memakan setengah. Hari sudah lumayan larut sewaktu mencari tempat yang bisa kutiduri. Sebenarnya ada banyak pilihan. Aku bisa tidur di motel murah tapi itu bukan pilihan yang cukup bagus. Selain itu, aku perlu menyimpan uang untuk hal yang lebih penting.

Karena sudah lelah berkeliling, aku duduk di dalam sebuah gang, beralaskan sebuah kardus bekas. Seraya menyandarkan diri pada dinding yang lembap, kupejamkan mata rapat-rapat, berharap dengan demikian aku akan tersadar di kamarku dan menyadari kalau semua ini hanya mimpi.

Aku hanya memakai pakaian yang kukenakan saat pergi ke pameran seni. Tidak ada jaket, sehingga kupeluk diriku sendiri atau meniupkan napas ke tangan lalu menggosok keduanya kuat-kuat demi mengusir cengkraman hawa dingin. Tampaknya malam ini aku akan terjaga, karena sampai sekarang aku masih belum merasakan kantuk sedikit pun. Perasaan kesal, marah, sedih dan lelah bergumul dalam diriku gara-gara masih tak habis pikir mengenai apa yang terjadi.

Kenapa Immy mau melakukan semua ini, kalau memang dia terlibat? Aku berusaha memikirkan perbuatanku yang mungkin saja membuat Immy marah besar padaku. Mungkin karena aku seorang penunggang naga dan dia tidak menyukai itu?

Berjam-jam duduk membuatku mulai mengantuk. Kurasa aku sempat terlelap sebentar, ditemani suara geraman samar. Semakin lama, suara tersebut terdengar semakin jelas seakan mendekat. Lalu, geraman itu seolah berada tepat di depan wajahku.

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Langit masih gelap dan malam belum berlalu. Suara tadi pun masih terasa nyata walau tidak ada apa pun di sekitarku. Geraman barusan bukan sesuatu yang membuatku takut, malah terdengar menderita sampai-sampai aku prihatin tatkala mendengarnya. Entah kenapa aku langsung memikirkan Beast.

Mungkin saja itu suaranya, batinku berkata. Mungkin dia tidak benar-benar mati dan tengah dalam kesulitan.

Kemudian suara-suara janggal kembali terdengar dari jauh, memecah pemikiran singkatku tadi. Gemuruh derap kaki membuatku semakin siaga. Mulanya kukira itu hanya halusinasi semata. Aku segera bangun dan menjauh dari sisi kiri gang, berlari ke sisi sebaliknya. Suara semakin mengeras dan terdengar nyata sampai-sampai aku menoleh ke belakang untuk memeriksa.

Terlihat satu Bailes, lalu diikuti yang lain. Aku menampar-nampar wajahku sambil berlari, berharap agar tersadar dari mimpi buruk. Sayangnya meski wajahku sudah sakit, makhluk itu masih terlihat jelas, malahan semakin dekat denganku. Makianku berpadu dengan derap langkah yang kian cepat di atas jalanan beraspal.

Belum cukup menghapus eksistensiku di dunia ini, kini aku hendak dibunuh.

Jalanan malam ini terlalu lengang dan senyap, seakan tidak ada yang terusik oleh keributan yang timbul dari makhluk-makhluk di belakangku. Atau, ada sihir lainnya yang membuat orang-orang tak sadar bahwa segerombol besar makhluk dari dimensi lain sedang berlarian di jalan raya New Orleans.

Aku menoleh sekali lagi untuk memastikan jumlah Bailes yang mengejarku; ada sekitar enam atau lima. Tapi satu Bailes saja sudah cukup membuatku ngeri.

Aku tiba di sebuah perempatan dan gemuruh langkah lainnya terdengar dari arah depan, ditimbulkan oleh segerombolan Bailes yang bergerak cepat menuju ke arahku. Ketika hendak berbelok ke kiri, aku malah ragu karena suara terlanjur menyebar ke mana-mana.

Di tengah kepanikan, kuusahakan untuk tetap berpikir jernih, kendati itu terdengar bak wacana yang tidak akan kulakukan. Gerombolan di belakangku kian mengikis jarak, tinggal beberapa langkah lagi sebelum mencapaiku.

Satu Bailes berhasil meraih tasku dari belakang. Hampir saja aku tercekik kalau tidak cepat-cepat melepaskannya. Aku tiba di tengah-tengah perempatan, mendapati bahwa di sebelah kanan, jalanan masih lenggang, maka aku berlari ke sana.

Aku tak akan mati seperti ini, kuulang-ulang kalimat tersebut dalam hati. Aku tak ingin besok para warga menemukan seorang gadis misterius mati di tengah jalan dalam kondisi tubuh tercabik-cabik, atau bahkan aku akan hilang tanpa jejak, dilupakan oleh semua orang. Pikiran itu cukup memaksaku terus memacu langkah, tak peduli sesakit apa kakiku atau sesesak apa dadaku saat ini.

Salah satu Bailes meraih punggungku. Aku menjerit keras ketika tangannya yang hitam legam nan menjijikkan meraih wajahku dan mencengkramnya. Kuraih tangan itu, memelintirnya lalu membantingnya ke depan. Cukup mengejutkan karena meski tenaganya kuat, Bailes tidak seberat yang kukira.

Aku berbelok ke sebuah gang sempit. Kucoba membuka pintu belakang beberapa toko, tetapi semuanya terkunci. Seakan segala kesialan ini tidak cukup, kini aku dihadang oleh jalan buntu. 

Kunaiki tong sampah besar terdekat dan berusaha keras menggapai ujung tembok. Tanpa pikir panjang aku melompat, meraih bagian atas tembok itu.

Rencanaku tidak berjalan sesukses yang kukira. Aku melepas pegangan dan mendapati pecahan beling masih menancap pada telapak tanganku. Darah hangat menetes, mengalir ke pergelangan tangan. Aku mengerang keras, tak sanggup melihat beling yang bersarang di antara daging dan darah. Orang pasti menaruhnya supaya mencegah penjahat kabur lewat bagian atas tembok.

Bailes pertama nyaris berhasil meraihku. Keinginan bertahan hidup memberiku kekuatan untuk menendangnya keras-keras. Sambil menahan jeritan, aku mencabut salah satu beling, kemudian menancapkannya ke kepala Bailes lain. Makhluk itu semakin banyak sampai aku tak bisa membendungnya lagi. Kali ini, tidak ada Beast yang datang, dan jarang ada yang bisa mengakali maut hingga dua kali.

Tubuhku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Semula kusiapkan diriku untuk disambut tangan para Bailes, tak lupa membayangkan sesakit apa rasanya dicabik-cabik. Akan tetapi sensasi mengerikan itu tak kunjung datang. Ketika punggungku menghantam suatu permukaan pun, aku masih memejamkan mata rapat-rapat.

Kutunggu beberapa detik hingga menyadari bahwa keadaan telah bertambah sepi. Ketika kubuka mata, aku tak lagi berada di gang tadi.

“Hampir saja, ya?” tanya seseorang. “Dari tadi aku kesulitan memutuskan, haruskah aku menolongmu atau tidak.”

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang