[33]

623 131 6
                                    

“Kau tidak terkejut,” kata Asmodeus, ditujukan untukku.

“Hampir saja terkejut. Lalu aku ingat keponakan kesayanganmu meninggalkanku untuk dibunuh para Bailes. Rasa-rasanya tidak aneh kalau sekarang kau berusaha menghasut Ben."

“Memang kau sudah tahu apa yang aku katakan pada Ben?” Asmodeus bertanya tenang. Aku menggeleng.

“Kenapa tidak kau beri tahu saja?” tantangku. Tatapanku beralih dari Asmodeus ke Ben secara bergantian. Pria itu melangkah mendekati Ben, aku memposisikan diri di tengah mereka berdua.

“Jangan coba-coba,” desisku. “Kau cuma perlu menjelaskan padaku. Tidak usah dekat-dekat dengannya.” Ben memegang pundakku dari belakang, berusaha menenangkanku. Aku menepisnya cukup kasar. “Kau juga tidak usah pegang-pegang.”

“Dia cuma menawarkan kesempatan untukku, supaya aku bisa hidup tenang," Ben memberiku jawaban. Sekilas, dia terlihat menyesal karena menyembunyikan hal ini. "Kau tahu bahwa sejak insiden yang lalu, semua orang di Matumaini menyalahkanku sekalipun hasil sidang membuktikan sebaliknya. Aku dituduh hanya karena aku seorang penunggang berdarah campuran. Aku cuma tidak ingin menyembunyikan apa pun dari mereka, dan beginilah cara mereka membalasnya.” Nada bicara Ben meninggi dari satu kata ke kata lainnya. “Aku cuma berharap bisa berteman dengan mereka. Aku bahkan tidak tahu kalau aku begitu berbahaya di mata mereka sampai-sampai semua bencana harus menjadi tanggung jawabku."

Asmodeus mengambil alih penjelasan, “Oleh sebab itu, aku menawarkan Ben untuk bergabung denganku. Di sisiku, banyak penunggang berdarah campuran yang sudah bergabung. Aku bisa menyelamatkan dan melindungi mereka.”

“Dengan membunuh naga-naga di Matumaini?” tanyaku. “Kau yang melakukannya, "kan?”

“Walau tidak secara langsung, tapi itu memang benar,” jawabnya santai. Aku bisa meninjunya karena menjawab sesantai itu.

Bedebah,” geramku. “Kau membunuh naga-naga itu dan masih berani meminta Ben bergabung denganmu?” Dikuasai oleh amarah membuatku mendapat keberanian untuk mencengkram bagian depan mantel Asmodeus, bahkan meski ia lebih tinggi dariku, aku menariknya keras hingga wajahnya sejajar denganku. “Kau membunuh nagaku.”

Asmodeus hanya tersenyum, membuatnya tampak seperti pria tua dan lelah. “Nagamu masih hidup, Cassidy, begitu pula naga-naga lainnya."

Aku melepas cengkramanku dan mendorong Asmodeus menjauh. Untuk sejenak, aku sedikit menyesal karena telah bertindak kasar pada seorang pria tua. Kemudian kuingatkan diriku bahwa pria ini sudah membunuh banyak naga, dan sekarang ini dia tengah berupaya menghasut temanku untuk bergabung dalam sekte sintingnya.

“Aku bisa menjadikan Ben pahlawan, menciptakan kisah di mana dia adalah sosok yang menyelamatkan para naga. Orang-orang akan mulai merubah pendapat mereka pada Ben. Mungkin tidak semua, tapi aku bisa menjamin sebagian dari Matumaini akan mulai menyukainya dan tidak mengecam kehadirannya. Tidakkah kau mau temanmu dianggap pahlawan?”

Aku memikirkan jawabanku, tak ingin Ben mengira aku menghalanginya untuk hidup bahagia. “Kau mau menjadikan Ben pahlawan? Baiklah. Jelaskan serangan Bailes itu. Kau mau menjadikanku martir dengan membunuhku? Jelaskan kenapa kau membuat semua orang melupakanku.”

“Ah ya, serangan dan sihir itu.  Memang aku yang bertanggung jawab untuk sihir itu, tapi aku tidak tahu-menahu soal serangan Bailes. Kenapa tidak kau tanyakan pada Imrie?”

Aku menolak untuk percaya padanya, apalagi dia bisa saja berbohong. Setiap ucapannya adalah bohong. Bodohnya, aku malah mengingat bagaimana Immy tanpa ragu meninggalkanku.

“Sekalipun dia yang melakukan, pasti kau yang menyuruhnya," aku masih mencoba mencari alasan yang masuk akal. Asmodeus mengedikkan bahunya dengan acuh tak acuh, seolah masalah ini hanyalah pertikaian antara dua remaja bau kencur yang tak penting di matanya.

“Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku memintanya untuk memperlihatkan bahwa sihirku telah berhasil sehingga kau bisa kembali ke Andarmensia tanpa perlu memusingkan kehidupanmu di New Orleans."

"Kau tidak punya hak untuk menghilangkan eksistensiku!" aku berteriak marah.

"Kendati itu terdengar kejam, tapi semua orang yang kau kenal telah menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan mereka masing-masing," balas Asmodeus, membuatku agak tertohok. Dia seolah mengatakan dengan adanya diriku, hidup orang-orang telah kacau-balau. "Immy bisa saja berperan sebagai sahabat yang baik, mengatakan bahwa dia tak tahu kenapa kau sampai dilupakan seperti itu dan dia akan menawarkan diri untuk selalu menjagamu. Aku tidak memintanya berperan sebaliknya.” Pria itu mengulas senyum miring. “Cobalah untuk berpikir, Cassidy. Kalau Immy memang sahabat baikmu, kenapa dia mau meninggalkanmu di sana?"

Asmodeus mundur perlahan dan berjalan menjauh. “Selamat malam, anak-anak. Dan Ben, aku selalu menunggu jawabanmu. Kau tahu di mana harus mencariku.” Itu ucapan terakhirnya sebelum bayangan-bayangan melilitnya seperti sulur hitam dan membawa Asmodeus menghilang dalam kegelapan pekat.

Aku masih mematung, terlalu syok akibat kejadian barusan. Butuh waktu bagiku untuk kembali tenang dan berjalan kembali ke rumah Ben. Pemuda itu menyusul dari belakang dan menghadang langkahku.

“Sebenarnya kau tidak perlu ikut campur, Cassidy,” Ben berucap, membuatku tertawa sinis.

Aku? Tidak perlu ikut campur, katamu? Aku tidak mengharapkan apa pun, Ben, tapi setidaknya mengertilah alasanku ikut campur.”

“Aku bisa mengurus ini sendiri."

“Nagamu sudah tahu ada yang tidak beres. Kau tidak percaya padanya?”

“Aku percaya." Kendati menjawab demikian, Ben terdengar tak yakin dengan dirinya sendiri. “Aku hanya—”

“Hanya sedikit terpengaruh oleh iming-imingnya. Begitu?”

Dahi Ben mengerut dalam dan mulai menatapku dengan cara yang tidak bisa kuartikan. “Aku tahu kau marah, Cassie, tapi sekali saja pikirkan kau berada dalam posisiku. Kalau aku bisa melakukan sesuatu untuk mengembalikan nama baik orang tuaku; untuk mengubah stigma masyarakat, maka aku akan melakukannya. Aku tahu Asmodeus bukan orang baik, tetapi aku tidak punya pilihan. Mereka semua tidak akan henti-hentinya menyalahkanku untuk semua yang tidak kulakukan.” Setiap kata diberi penekanan. Suaranya semakin meninggi, hampir membentak. Harusnya aku ingat betapa ciutnya nyaliku kalau sudah diperlakukan seperti ini. Kukepalkan tangan kuat-kuat, perlahan menjauhkan pandangan darinya.

“Aku sudah kehilangan keluargaku dan semua yang kukenal gara-gara Asmodeus," lirihku. "Aku tidak punya apa pun lagi. Nagaku pun entah bagaimana keadaannya. Saat ini, di tempat ini, aku cuma punya kau.” Aku menggigit bibir bagian bawah. Tanganku mengepal semakin kuat. “Atau kau sama saja seperti Immy?”

Entah Immy benar-benar terlibat atau kami hanya diadu domba, yang jelas aku tidak bisa berpikir jernih saat ini.

Ben tertawa sinis. "Oh, sekarang aku seperti Immy?" Tatapannya dipalingkan dariku. "Kupikir kau akan mengerti, Cass," gumamnya. "Kau sama saja seperti yang lain."

Mulutku ternganga. "Aku sama seperti yang lain?"

"Kalian tidak pernah memahamiku," Ben berujar dalam nada pahit. "Yang kalian pedulikan hanyalah diri sendiri."

Baru tadi dia terlihat perhatian dan ceria, sekarang ucapannya menusukku tajam. Aku berusaha menahan diri sekuat yang kubisa. Setelah dia berjalan pergi, barulah air mataku tumpah. Aku membekap mulut, tak ingin isakanku terdengar olehnya. Berkali-kali aku mengusap air mata, berusaha menguasai diri. Menangis tak akan memperbaiki keadaan. Namun, air mata selalu mengkhianatiku.

Ketika Ben masuk ke dalam rumahnya, kembali ke pesisir. Kali ini aku berjalan hingga ke tepi pantai, membiarkan sapuan ombak membasahi kakiku. Di sana, air mataku tumpah, menyatu bersama air laut.

Banyak hal terlintas dalam benakku. Aku ingat pada kedua orang tuaku, pada Granny, lalu pada Beast. Aku harap mereka semua ada disini, terutama nagaku. Dia satu-satunya yang kumiliki, yang bisa kupercaya sepenuh hati.

Rasa rindu dan sedih membuncah, membuat tangisanku terdengar semakin menyedihkan. Angin-angin melolong di tengah gelapnya malam, gelora lautan tak pernah padam, sementara hatiku bagaikan kapal yang kehilangan arah.

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang