[30]

624 126 15
                                    

Benakku kosong sesaat, tidak mampu memproses apa yang terjadi, sehingga yang kulakukan cuma berbaring sambil menatap langit-langit. Namun, rasa sakit membantu menyadarkanku kembali, memaksaku untuk segera mendudukkan diri dan kembali waspada.

Luka di tanganku menyengat ketika menekan lantai, membuatku tersentak. Aku buru-buru menarik kedua tangan, berusaha keras untuk tidak pingsan saat melihatnya kucuran darah yang masih membasahi tangan.

Dari samping seorang perempuan meraih kedua tanganku, kemudian sensasi sejuk mengalir ke sela-sela luka, diiringi sengatan-sengatan rasa sakit samar. Aku terpaku sejenak tatkala luka tersebut sudah tidak menimbulkan sakit lagi. Ketika mengelap tangan dari sisa darah, hanya ada bekas luka putih samar yang tertinggal.

“Gadis malang, kembali ke dunianya hanya untuk mendapati bahwa dia dilupakan semua orang. Kau beruntung karena sihirnya tidak terlalu berpengaruh pada sesama penyihir.” Perempuan itu mengelap noda darah di lantai dengan beberapa lembar tisu. Butuh waktu sejenak bagiku untuk bisa mengingat wajahnya.

"Kau...," aku berkata lirih.

Tatapannya menoleh ke arahku sekilas, lalu dia sibuk menggosok lantai lagi. “Ingat aku?”

“Siapa kau?” Hampir saja aku kehilangan suara karena tenggorokan yang kering.

“Avyana,” balasnya. “Aku tahu, sudah dua kali kita bertemu dan aku tidak memperkenalkan diri. Omong-omong, maaf sudah mengejutkanmu dengan mengirimmu kembali ke Andarmensia. Sulit untuk tidak mengganggu penunggang iltas. Apalagi kalau dia sendiri tidak tahu bahwa dirinya penunggang naga.”

Aku mendengus, “Memangnya terlihat jelas kalau aku penunggang iltas?”

“Bagi beberapa orang, hal itu sejelas matahari di siang hari, terutama kau memancarkan aura yang sangat kentara bahwa kau adalah penunggang naga.” Dia menarikku hingga bangun dan mendudukkanku ke ranjang. “Lagi pula, tidak tahukah kau kalau warna mata penunggang selalu sama dengan warna sisik naganya?”

Aku menggeleng. Sejak dulu aku bertanya-tanya mengapa mataku bisa berwarna hitam legam, padahal sangat jarang ada yang berwarna demikian. Sekarang aku tahu kenapa Dante punya warna mata aneh, yang ternyata sama seperti warna sisik Lucifer, atau mata Ben yang sewarna sisik Kaia kendati matanya memiliki warna biru yang berbeda.

“Kau pasti sangat lelah,” tambah Avyana. “Aku sudah pesankan makanan.” Mendengar hal tersebut membuat kepalaku terangkat. Penyihir itu menunjuk nakas, di mana sepiring makanan yang masih mengepulkan uap dan segelas air putih menunggu untuk kusantap. Aku melihat ke arah penyihir itu dengan tatapan sangsi.

“Ayolah,” gerutunya, “tidak mungkin aku menyelamatkanmu untuk membunuhmu atau mengguna-gunamu.”

Ragu-ragu, aku berjalan mendekati nakas lalu menegak minuman sampai habis. Kulahap roti isi perlahan-lahan walau ingin rasanya aku makan dengan rakus. Aksi kejar-kejaran tadi amat menguras tenaga.

“Baru sehari menggelandang, kau sudah sangat menyedihkan,” komentar sang penyihir. "Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau kau mengalami ini selama seminggu, ditambah tiap malam diburu oleh Bailes. Berterimakasihlah karena dewa-dewi mengirimkan aku untukmu.”

“Apa maumu?” aku bertanya di sela-sela kunyahan.

“Anak pintar. Kau tahu yang namanya pertolongan tidak ada yang gratis. Nah, aku cuma perlu kau kembali ke Andarmensia dan lakukan apa yang perlu kau lakukan.”

Kuangkat kedua alisku. “Dan apa tepatnya yang perlu kulakukan?”

Wanita itu bersedekap. "Entahlah. Tapi, aku yakin ada sesuatu yang harus kau selesaikan di sana."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang