[3]

1.1K 195 52
                                    

“Apa kau pemuja setan?” tanyaku.

“Bukan.”

Aku mengetukkan jari ke meja. "Kau mengikuti sekte pemuja Van Gogh?"

"Kau tahu tidak ada hal semacam itu," jawabnya, datar.

“Syukurlah kalau bukan. Aku hanya menanyakan kemungkinan terburuk. Kau penyihir?"

Immy mengangguk. Aku ingin saja terlihat terkejut untuk menambah ketegangan suasana, membuatnya lebih dramatis. Sayangnya, aku hanya mengangguk canggung sambil menyeruput minuman. Kupotong daging sapi yang tersaji di piringku dan menyuapkannya ke mulut sembari memproses segala sesuatu.

"Begitu saja reaksimu?" tanya Immy.

Aku meliriknya dengan tajam, "Aku sedang berusaha keras untuk tenang. Memang kau mau aku berbuat apa? Berlari mengelilingi satu blok sambil berteriak?" Mendengar jawaban itu, Immy dan aku sama-sama diam cukup lama. Sampai akhirnya aku kembali bersuara, "Kutebak kau bukan dari Inggris?” Immy menggeleng. “Lalu dari mana?”

“Dari dimensi lain.”

Aku mengangguk lagi sambil mengangkat kedua alis, berjuang menyiapkan mentalku. Mengingat aku sudah melihat begitu banyak keanehan dalam waktu kurang dari setengah jam, mendengar satu lagi hal mengejutkan seharusnya bukanlah masalah besar. “Terdengar serius. Apa tempat itu sangat buruk?”

“Tidak.” Immy memutar-mutar sedotan di dalam gelas. “Andarmensia adalah tempat terbaik yang pernah ada, walau teknologi di sana tidak semaju di sini.”

Jadi nama tempat asalnya adalah Andarmensia, dan tempat itu berada di dimensi yang berbeda dengan bumiku saat ini. Sebagai pecinta hal-hal fantasi, ada semangat aneh yang menggebu dalam diriku saat mendengar soal dunia di dimensi lain ini.

“Lalu, orang tuamu ….” Aku menunggu reaksi Immy. Dia mengembuskan napas lelah dan makan beberapa suap. Proses mengisi perut membantunya menenangkan diri, terlebih sebelum menghadapi topik yang akan kami bahas.

“Mereka ingin aku kembali ke rumah, memperbaiki apa yang sudah terjadi. Aku menolak. Kubilang aku sudah punya kehidupan disini, jadi buat apa kembali?” Ia mendengus seraya menopang wajahnya dengan tangan.

“Ada masalah apa, kalau aku boleh tahu?"

“Oh, cuma hal biasa di kalangan penyihir sebenarnya. Mereka mau menjodohkanku.” Aku menahan diri agar tidak mengatakan apa pun, membiarkan Immy melanjutkan, “Aku baru empat belas tahun waktu itu dan mereka memaksaku menikah dengan seseorang yang setahun lebih tua dariku. Itu pemuda paling buruk rupa yang pernah kulihat dan dia sangat jorok. Bukan berarti aku mau menikah dengannya kalau dia tampan. Aku mau menjadi pelukis, tetapi warna-warna cerah bukan hal yang wajar di kalangan penyihir. Entah kenapa mereka suka hal yang kusam dan serius. Jadi aku kabur, dibantu oleh pamanku.”

“Pamanmu membawamu hingga ke sini? Maksudku, kenapa harus repot-repot kabur hingga ke dimensi lain?”

“Entahlah, aku terima-terima saja saat dibawa ke sini, asalkan jauh dari keluargaku. Paman rutin memberi uang, memastikan aku bisa bertahan hidup. Sebenarnya, ini tidak ada ruginya. Aku bisa berkreasi dengan bebas tanpa takut dikenali kerabat yang lain. Entah bagaimana orang tuaku bisa tahu aku ada di sini.”

“Di mana pamanmu sekarang?”

“Masih di Andarmensia."

“Satu hal yang membuatku bingung,” ujarku, “kenapa pamanmu mau membantumu? Pasti ada alasannya bukan? Mendengar penuturanmu soal penyihir di Andarmensia, nampaknya mereka adalah sekumpulan orang-orang kuno dan kolot.”

Immy sedikit terkekeh. “Memang. Aku dan pamanku terbilang beruntung karena tidak seperti mereka. Kami suka dengan hal-hal baru dan tak ingin menghabiskan waktu dengan tradisi nenek moyang dari zaman purba terus-menerus.”

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang