[38]

582 130 2
                                    

Usia Avru yang sudah sekitar seabad tidak menghambatnya untuk memacu kecepatan. Kami terus terbang hingga sore kembali menjelang. Mudah untuk mengetahui kalau kami sudah dekat dengan Bara Cierna. Suhu udara mendadak berkurang drastis di titik tertentu sementara suara guntur terdengar dari kejauhan. Cahaya perlahan menghilang dan segala sesuatu terlihat segelap tinta hitam, diselingi sambaran petir. Kami langsung terbang lebih rendah, namun masih cukup jauh dari permukaan laut.

"Kurasa kita hampir sampai," Avru berteriak di tengah badai. Terbang sejauh ini pasti membuatnya lelah dan butuh istirahat panjang.

Aku tak bisa lihat apa pun selain kegelapan. Perubahan cahaya terjadi begitu drastis sehingga tidak ada waktu untuk menyesuaikan diri. Setetes demi setetes air mulai terasa, tak lama kemudian disusul oleh hujan lebat yang membasahi kami berdua. Ombak lautan bergulung-gulung ganas di bawah kami.

"Pegangan yang erat," Avru memperingati. Aku memegang sisik-sisik yang mencuat di sepanjang lehernya lebih erat sambil menundukkan tubuh serendah mungkin. Kami menerjang badai, melewati kegelapan. Aku sempat cemas, takut kami akan jatuh ke laut dan dimangsa oleh makhluk yang sudah menanti di bawah sana. Ketika merasakan Avru telah mendarat, barulah aku bisa bernapas lega.

"Sudah sampai?"

"Mengejutkan memang, tapi ya, kita sudah sampai."

Aku turun perlahan dari punggung naga itu. Tubuhku mulai menggigil. Kegelapan pekat memperburuk keadaan. Terlepas dari kondisi yang tidak menyenangkan, memaksakan diri untuk segera tiba di tujuan membuatku merasa lebih lega.

"Kita berada di atas tebing," kata Avru. "Ada gua di depan sana."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Avru tidak menjawab dan menuntunku berjalan. Kurasa naga memang bisa melihat di dalam kegelapan. Setelah dituntun masuk ke dalam gua, aku segera melepas rompi, memerasnya hingga kering, kemudian menganginkannya sejenak.

"Apakah kau melihat sesuatu yang bisa dibakar?" tanyaku.

"Sejauh ini tidak ada. Hanya ada tanah dan batu. Aku akan coba cari dulu." Suara langkah naga itu menjauhiku, masuk semakin dalam ke gua. Tak lama setelahnya ia kembali, "Nihil," katanya.

"Kalau begitu hanya ada kita dan kegelapan. Semoga saja badai berhenti besok pagi."

Walau tak sepanas naga infernos, tubuh Avru pun sudah cukup hangat sehingga aku menaruh pakaianku di tubuhnya, berharap bisa membuatnya kering. Sayap lebarnya membantu melindungiku dari cuaca dingin dan mencegahku terkena hipotermia.

Baru kali ini kuizinkan kelelahan menguasai tubuhku. Kendati keadaan di luar sana tidak terlalu mendukung.

Tiba-tiba, Avru menggeram rendah. "Cassie, berlindung di belakangku," suruhnya. Ingin rasanya aku merengek karena sudah mengantuk, tapi ancaman bahaya membuat tubuhku siaga lagi. Aku naik ke punggung Avru agar naga itu bisa segera terbang pergi kalau memang diperlukan.

Tubuh Avru bertambah hangat dari waktu ke waktu, disertai gelegak keras dari dalam dirinya. Naga itu bergerak maju dengan hentakan geram, kemudian menyemburkan api ke sekitar kami.

Gerombolan Bailes yang muncul entah dari mana membuatku berjengit. Tahu-tahu saja mereka sudah mengerubungi gua dengan tubuh hitam mereka, bagai semut yang mengelilingi makanan manis.

Entah karena lelah, atau karena aku bersama seekor naga, alhasil aku tidak terlalu panik. Avru terbang di sekitarnya gua untuk membasmi beberapa Bailes, kemudian setelah situasi kembali aman, kami kembali ke dalam gua.

"Apa kau yakin mereka sudah lenyap?" tanyaku, masih waswas.

"Bailes tidak sulit ditangani, terlebih kalau kau punya api. Apalagi api naga." Avru menenangkan dengan nada mengantuk. "Mereka mengerikan bagi manusia biasa, padahal tidak sulit menanganinya."

"Sebenarnya dari mana mereka muncul?"

"Aku tidak tahu pasti. Dari yang kudengar, mereka roh-roh jahat yang muncul akibat Perang Besar. Setiap kali ada manusia atau hewan di sekitar, mereka bisa saja muncul langsung." Avru menguap lebar. "Cahaya dan panas api selalu menghilangkan keberadaan mereka. Tapi, untuk berjaga-jaga, sebaiknya kau tidur di atas punggungku."

Aku tidak membantah. Punggung naga bukanlah tempat terbaik untuk tidur. Namun dalam keadaan seperti ini, tetap saja aku bisa terlelap dengan cepat.

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

Pagi itu mendung. Aku menderita nyeri parah di leherku. Sekujur tubuhku kaku akibat posisi tidur yang kurang nyaman. Avru sudah terbangun dan memandang ke luar gua. Awan-awan mendung terpantul di mata pirusnya.

Kutegak sisa air dalam kantung minum yang kumiliki, setelahnya kukenakan kembali pakaianku yang masih lembap.

"Kau siap?" tanya Avru.

Kedua bahuku merosot, dipenuhi ketidakyakinan. "Kalau kau tanya begitu, aku pasti tidak bakal siap."

Siap atau tidak, kami berdua berjalan keluar dari gua. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah tanah dari pulau ini. Semuanya hitam kelam seperti langit malam. Sekalipun ada sesuatu yang tumbuh, semuanya kering dan gersang. "Tidakkah sebaiknya kau pergi?"

Avru menoleh dengan raut tersinggung. "Apa aku hanya alat transportasi semata di matamu, Cassie?"

"Maksudku bukan begitu," aku membantah. "Hanya saja, tempat ini tidak aman untuk naga."

"Beast adalah temanku," Avru bersikeras. "Kau mau suruh aku pergi sementara kau belum tentu bisa melakukannya sendiri? Kau bahkan tidak bisa menghadapi Bailes semalam kalau bukan karena aku."

"Baiklah, baiklah," aku menghentikan perdebatan kami. "Tunggu sebentar di sini, aku akan memeriksa keadaan sekitar."

Aku melangkah ke depan sambil mengendap-endap. Kuperiksa keadaan di sekeliling gua. Benar saja, kami berada di sebuah tebing. Ilalang tinggi tumbuh di sekitar, menjadi perlindungan tambahan yang cukup untuk menutupi tubuhku. Aku berjalan ke dalam ilalang dan membaur di antaranya. Tidak ada siapa pun atau apa pun di sekitar. Kucoba untuk berjalan lebih jauh agar mendapat pemandangan yang lebih jelas ke bagian bawah tebing. Di depan kami, hanya ada laut dan batuan karang. Pada arah sebaliknya, jalanan menjadi lebih terjal. Masih tak ada tanda-tanda kehidupan yang tampak dalam pandanganku.

Aku kembali ke gua. Jantungku sudah berdebar keras. Selain takut, aku tak tahu harus melakukan apa. "Kau yakin tidak mau pergi? Maksudku, kau berukuran terlalu besar, itu membuat kita tampak mencolok."

"Bagaimana kalau kau tertangkap? Aku harus bersamamu kalau kau ingin aman," balas Avru.

"Justru kalau kita bersama, bukankah kemungkinan kita ketahuan akan semakin jelas? Dan kalau kau yang tertangkap, aku tidak tahu apakah aku bisa membantumu atau tidak. Ingatlah kalau yang kita hadapi adalah penyihir." Meski wajahnya mengerut jengkel, Avru tidak bisa menyangkal bahwa ucapanku ada benarnya. "Berada di sini juga tak aman untukmu. Bisa saja mereka melakukan penyisiran di daerah ini dan menangkapmu. Kau harus pergi."

"Cassidy—"

"Tolong, Avru. Aku tak bisa membahayakanmu," pintaku.

Mata sang naga tidak lagi seramah biasanya. Jelas dia tak senang dengan keputusan sepihak yang kubuat. Kusentuhkan tangan ke kepala Avru. Kukira dia akan menghindar karena marah padaku. Syukurlah dia masih menerima uluran tanganku, membiarkanku mengelusnya. "Berjanjilah, kau akan menyelamatkan diri. Dante dan Amethyst pasti menyusul."

"Aku tidak bisa menjanjikan itu," sergah Avru. "Tapi, aku akan tetap berjaga di sini."

"Baiklah," akhirnya aku mengalah. Setidaknya dengan begini Avru tidak akan menjadi sasaran empuk. "Terima kasih sudah mengantarku sejauh ini. Aku akan membebaskan Beast."

Sepasang mata pirus itu balas memandangiku. Tatapannya hampir terlihat manusiawi.  "Aku ingin Beast kembali dan melihatmu ikut bersamanya," tegas sang naga. Aku membalas dengan anggukan.

"Berjanjilah, Cassie," dia memaksa dalam nada pelan. "Aku tidak bisa kehilangan dua temanku sekaligus."

Teman. Hatiku mencelus mendengarnya. Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang belum pasti, dan Avru sendiri tahu itu. Namun, tetap saja kuberi dia balasan. "Aku berjanji."

IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang