Raungan si naga memang isyarat bahwa mangsa telah jatuh ke perangkap. Kini setelah dia diam, derap langkah kaki terdengar kian dekat dan kami bertiga masih berdiri di tangga.
"Sial," Amethyst memaki. "Kita harus apa?"
"Tentu saja bertarung!" aku menjawab panik. "Kalian bisa melawan mereka, bukan?"
Dante dan Amethyst tidak menjawab, malah saling pandang.
"Uh... bukannya kalian lebih terlatih dalam pertarungan seperti ini?" tanyaku, agak tak habis pikir dengan kebungkaman mereka.
"Mengingat kami baru lulus tahun lalu, belum ada pertempuran sungguhan yang kami hadapi," Dante menjawab jujur, membuatku ternganga. Jangan bilang dua senior tergalak ini pun sama takutnya dengan pemula sepertiku.
Amethyst hendak menarik pedangnya, tetapi segera ditahan Dante. "Ini tidak akan berhasil," ujar pemuda itu.
"Apanya yang tidak akan berhasil?" tanya Amethyst.
Dante tidak memberi jawaban. Keraguannya membuat kami membuang terlalu banyak waktu. "Dante, apa pun rencanamu, lakukan saja!" teriakku.
Bukannya menjawab, pemuda itu malah menundukkan kepala, membuatku dan Amethyst segera mempertanyakan alasan Dante malah berbuat seperti itu. Kuharap dia tidak sedang mengajak kami untuk menyerah.
Segerombolan orang berjubah hitam muncul dari bawah, bersiap menyergap kami. Aku dan Amethyst menyiagakan pedang bersamaan ketika tubuh Dante dipenuhi oleh simbol dan rune kuno, memancarkan sinar berwarna putih. Saat orang pertama hendak menjangkau kami, tangannya tertahan oleh dinding tak kasat mata yang langsung bergelenyar saat disentuh.
"Bedebah!" maki orang itu. Tubuhnya pun ikut dipenuhi oleh simbol-simbol bercahaya biru. Sihir keduanya beradu dalam kegelapan lorong tangga. Dante merangsek maju ke depan, diikuti aku dan Amethyst dengan buru-buru. Pelindung tak kasat matanya menabrak orang-orang di depan kami sehingga terbentuklah jalan untuk meloloskan diri. Tanpa berhenti sedetik pun, kami terus berlari hingga lantai paling bawah di mana sang Naga Zilar sudah menunggu.
"Sedikit lagi," Amethyst berkata, mencoba menyemangati Dante. Pemuda itu mulai kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Tanpa sempat berkomentar, aku dan Amethyst memaksanya bangun dan berusaha memapahnya. Sihir mulai menunjukkan ketidaknormalan berupa gelenyar putih keperakan, seakan pelindung kami akan hancur tak lama lagi.
"Sedikit lagi, Dante," Amethyst terus menyemangati.
"Apa yang terjadi?" aku bertanya waswas sambil terus menyeret Dante maju. Tidak terdengar balasan karena Amethyst sibuk menyadarkan temannya yang kelihatan nyaris pingsan.
Naga di dekat kami tertawa. "Malang benar nasibmu," ucapnya, lebih ditujukan padaku. "Iltasmu yang berharga akan segera dikorbankan. Mungkin kau ingin mati bersama-sama dengan dia?"
Daripada mendengarkan ocehan si naga, aku dan Amethyst mengerahkan segenap kekuatan yang tersisa untuk mengangkat tubuh Dante yang hampir tak sadarkan diri. Gerombolan orang tadi sudah mendekat dan Dante justru kehilangan kesadaran. Dengan begitu, hilanglah pelindung di sekitar kami.
"Lemah," salah satu suara mengejek, disambut tawa dari teman-temannya. Kalau jadi mereka, aku tidak mau menyulut emosi Amethyst. Gadis itu menarik pedang dari sabuknya dan langsung menebasnya tepat ke arah gerombolan orang itu. Kalau beruntung, dia bisa menyayat sederet orang yang berdiri paling depan.
Napasku terkuras secara tiba-tiba, membuatku mengeluarkan suara tercekik. Alhasil, gerakan Amethyst pun terhenti dan perhatiannya tertuju ke arahku.
"Jangan coba-coba," desis pria itu. Dia mengarahkan tangan padaku. "Atau kupatahkan leher temanmu ini."
"Patahkan saja lehernya kalau kau mau," suruh Amethyst, lalu dia kembali menerjang ke depan. Sayangnya, sekujur tubuh gadis itu membeku seketika. Bagus, sudahlah mengorbankanku, kini dia sendiri terjebak dalam sihir.
"Tunggu." Sebuah suara menghentikan pria tadi sebelum dia lanjut menyiksa kami. Sensasi aneh di leherku menghilang perlahan-lahan. Sejenak, aku bimbang antara berterima kasih pada orang yang menyelamatkanku atau tetap diam, mengingat dia bisa saja punya rencana yang lebih buruk untukku. Tetapi suara barusan tidak terlalu asing di telingaku.
Sang pemilik suara meraihku, mengusap pundakku lembut. "Kau baik-baik saja?"
"Baik-baik saja?" aku mengulang sinis. Kutepis tangannya dari punggungku. "Tidak usah pura-pura baik padaku, Imrie."
Aku beringsut menjauhinya, berusaha menjaga jarak. Imrie membuka tudung hitamnya, memperlihatkan wajah yang masih sama seperti Imrie yang kukenal. Aku bertanya-tanya apakah pakaian yang ia kenakan di balik mantelnya masih warna-warni seperti dulu.
Melihat ekspresinya yang terluka itu membuatku semakin jengkel. Tidak ada gunanya dia berpura-pura sedih setelah menjerumuskanku dalam semua ini.
"Tidak terkejut melihatku masih hidup?" tanyaku. "Kuduga kau berharap melihatku dalam wujud serpihan daging dan tulang di sela-sela gigi Bailes."
Terlepas dari respon tidak bersahabat dariku, dia masih saja menarikku bangun. "Apa maksudmu?" dia berbisik lirih.
Sungguh pertanyaan klasik. Padahal dia yang membiarkanku mempertaruhkan nyawa dan tanpa adanya Ibu Dante, aku sudah mati konyol. Sekarang dia malah bertanya dengan raut sok tidak paham itu. Aku mencoba memikirkan balasan yang cukup kejam untuknya, sayang waktuku tak cukup untuk itu. Seorang wanita menarik Imrie menjauh dariku sementara enam orang lainnya bersiap meringkusku, Amethyst, dan Dante.
Amethyst, yang sudah lepas dari mantra, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melawan sampai dia kembali diberikan mantra agar tidak sadarkan diri. Aku pasrah saja saat diseret pergi, tidak memberi perlawanan sedikit pun. Tatapanku terarah ke belakang, memandangi kurungan naga yang kami tinggalkan. Beast masih berada di dalam sana dan aku gagal menyelamatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...