Bukan hanya aku, bahkan tujuh penunggang lain mengalami nasib serupa. Dari kami semua, aku satu-satunya yang tidak menangis. Mereka semua meratap histeris di kandang naga pagi-pagi. Mulanya, Roan membangunkan beberapa orang lebih awal supaya naga-naga yang masih hidup bisa mengangkat nagaku. Saat masuk ke kandang naga, mereka malah menemukan beberapa naga yang juga sudah kehilangan nyawa.
Hari itu, aku menolak latihan. Aku duduk di hutan, atau lebih tepatnya tempat yang pernah didatangi Beast. Kunanti-nanti momen ketika air mata mengalir karena kesedihan. Sayangnya, yang kurasakan malah amarah. Aku marah karena Beast tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Dia hanya bertingkah seakan dia adalah naga yang mengerikan tapi dia tetap tak bisa melawan kematian. Aku marah karena aku tidak sempat mengatakan apa pun yang berarti untuknya. Kalau aku tahu siapa bajingan merenggut nyawanya, akan kucabut nyawanya dengan tanganku sendiri.
Aku sadar itu hanya wacana semata. Nyatanya aku tidak tahu harus berbuat apa selain duduk termenung. Aku tidak tahu siapa pelaku dari semua kejadian ini dan entah sampai kapan semua ini akan terus terjadi. Aku lebih tidak tahu apa penyebab Beast bisa sampai seperti itu, padahal dia tidak pernah memakan apa pun yang disediakan untuk naga-naga di sini. Dia cenderung mencari makanan sendiri. Sementara naga-naga sebelumnya diduga mati gara-gara adanya ramuan sihir yang dimasukkan ke dalam makanan mereka.
Aku menutup mata kuat-kuat, lalu mencubit lenganku, berharap ini cuma mimpi yang terlalu nyata. Saat bangun nanti, aku sudah terlambat datang latihan dan Beast sedang menantiku.
Tentu saja itu tidak akan terjadi. Inilah kenyataannya.
Seharusnya satu masalahku selesai. Aku bisa kembali ke dunia asalku tanpa pusing lagi. Beast sudah tiada, artinya aku tidak punya kepentingan lagi di Andarmensia. Aku tidak perlu khawatir karena harus meninggalkan nagaku. Aku bahkan tak punya naga lagi.
Hanya saja, ada rongga besar di dadaku yang membuat segala sesuatu terasa kosong. Mendadak sebagian benakku lumpuh, tidak tahu harus berbuat apa. Yang aku tahu, saat ini aku duduk, merenung hal yang tak jelas sambil berharap sesuatu terjadi. Misalnya, tiba-tiba ada naga liar datang dan memangsaku.
Sayangnya hal tersebut pun tak terjadi. Satu-satunya suara yang sedikit menyadarkanku dari lamunan adalah gemuruh petir. Sejak tadi pagi, cuaca seakan bermain-main. Hujan tak kunjung turun tapi langit amat mendung.
Aku menarik keluar bandul kalung yang hanya berupa batu-batu dari gua naga; satu-satunya benda pemberian Beast. Suara yang terdengar samar, akan tetapi tidak menenangkanku lagi.
Tak tahu harus marah pada siapa, aku mengeluarkan pedangku dan berdiri. Pohon terdekat menjadi korban sasaran empukku. Aku terus menyerang hingga kayu pada batang tercacah. Pedang itu tak hentinya kuhujam meski sekujur tanganku mulai merasa nyeri dan otot-ototku terasa tertarik. Sampai di ambang batas kemampuan tubuhku, aku berhenti. Dengan napas terengah-engah, kutatap batang pohon yang sudah mulai hancur.
Sekilas aku merasa kasihan pada pohon yang tak bersalah ini. Kutancapkan pedang ke tanah dan jatuh terduduk di antara serpihan kayu yang berserakan.
Langit semakin gelap. Guntur terdengar dua kali lebih keras dari sebelumnya. Tak berapa lama setelahnya, setetes demi setetes air hujan jatuh ke tanah Matumaini. Mulanya hanya hujan ringan, lalu dalam sekejap, hujan deras mengguyurku.
Aku mengembuskan napas berat. Bahuku bergetar pelan saat aku mulai meneteskan air mata.
Tidak, aku berucap dalam hati, ini bukan salah Beast. Ini salahku. Aku bahkan tak bisa menjaga nagaku sendiri.
Aku paling benci mengakui bahwa aku salah. Aku yakin itu hal yang berat untuk sebagian besar orang— untuk mengakui kesalahan mereka dan menanggung kesalahan itu. Aku terus mengingatkan diri bahwa menangis tak akan memutar ulang waktu. Hanya saja, entah mengapa aku berharap Beast akan muncul dengan ajaibnya, kembali dari kematian bersama naga-naga lain. Atau untuk memudahkan segalanya, aku tinggal menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Bahwa aku hanyalah gadis biasa dari New Orleans, yang selalu menginginkan naga.
━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━
Kembali ke kabinku adalah hal tersulit nomor dua. Aku harus menyeret tubuh dari hutan di tengah hujan lebat. Hal tersulit nomor satu adalah melihat kapal-kapal yang mengangkut para naga mulai menjauh di tengah badai. Aku bahkan tak sempat melihat nagaku untuk terakhir kali. Penunggang lainnya berdiri di ujung tebing bersama teman-teman mereka. Beberapa dari mereka menangis di bahu teman mereka. Ada yang berbalik pergi, tak ingin melihat lebih lama lagi. Mereka saling berangkulan, menguatkan satu sama lain dan dikuatkan oleh orang-orang yang peduli pada mereka. Aku berdiri sendiri, menatap kapal-kapal itu semakin menjauh.
Sejenak, kukira hujan berhenti turun, sebab air tak lagi membasahiku. Tahu-tahu, sebuah payung sedang menaungiku. Dante berdiri di samping, menatap ke arah laut. Ombak-ombak bergulung, membuatku takut salah satu atau bahkan semua kapal itu terbalik.
“Kukira kau tidak menyukaiku. Sekarang kau repot-repot memayungiku?” aku bertanya. Suaraku terdengar serak.
“Aku bukannya tidak menyukaimu,” bantahnya. “Hanya saja kau selalu bersama Ben. Dia adalah sumber ketidaksukaanku. Bahkan kau menyiramku karena dia, 'kan?”
“Dia pemuda yang baik,” balasku. "Entah apa alasan kalian tidak menyukainya.”
“Dia setengah penyihir," Dante mengingat. Tentu saja itu alasannya. “Dia bukan penunggang berdarah murni dan masih berani menginjakkan kaki di sini. Sekarang semua masalah terjadi dan penyebabnya adalah sihir.”
“Bisa saja orang lain yang melakukannya.”
“Tapi, bagaimana kami bisa menuduh orang lain sementara Ben satu-satunya yang punya darah penyihir di lingkungan ini?”
Aku sangat ingin menampar Dante, atau mengajaknya bertarung untuk meluapkan amarah. Tanganku berada di pegangan Gladius, mempertimbangkan keputusan yang menggoda itu.
Alih-alih, aku hanya membalas, “Aku tidak tahu apa alasan Ben menunjukkan jati dirinya, walau aku yakin dia bisa menyembunyikan semua itu.” Aku teringat saat Immy mengubah selaput pelangi di matanya agar berwarna sama waktu kami menghadiri Festival Musim Panas. Pasti Ben juga bisa melakukan hal serupa untuk melindungi identitasnya, tetapi dia memilih menunjukkan jati dirinya.
Terlepas dari itu, sebenarnya aku pun tak bisa membayangkan orang seperti Ben tega berbuat jahat, walau dugaan tersebut belum tentu benar. Namun, aneh rasanya melihat Ben sudah tidak ada, tapi semua bencana ini masih berlangsung.
Tapi aku bisa apa? tanyaku, dalam hati. Seorang gadis biasa yang bahkan tidak bisa berlari tanpa ngos-ngosan tidak perlu bermimpi menjadi pahlawan kesiangan yang bisa mengungkap semua kejahatan ini.
Aku berjalan keluar dari jangkauan payung Dante, memilih berbasah-basahan di tengah hujan, kemudian berjalan ke kabinku tanpa menoleh ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas
FantasySeorang remaja dari New Orleans adalah penunggang naga di Andarmensia. - Hidup Cassidy Adams normal-normal saja sampai suatu hari, ia menyadari bahwa temannya, Imrie, adalah seorang penyihir. Tidak sampai disitu, Cassie menghabiskan musim panasnya d...