[11]

723 148 1
                                    

Dad memberiku ponsel lamanya sebagai alat komunikasiku untuk sementara waktu sampai kami punya waktu untuk mencari ponsel yang lebih bagus. Akan tetapi, sejak pagi Immy tidak mengangkat teleponku, membuatku agak meragukan kinerja ponsel lama Dad. Namun, ada banyak kemungkinan lain yang bisa terjadi. Bisa saja orang tuanya datang lagi dan memaksanya pulang, atau Immy enggan mengangkat karena melihat nomor tak dikenal.

Daripada terus mencoba tanpa hasil, aku buru-buru pergi menuju apartemennya. Sesampai di sana, penjaga apartemen bilang Immy pergi sejak pagi. Tak mungkin penjaga itu salah mengenali Immy, karena sulit mengabaikan seorang gadis dengan gaya berpakaian eksentrik.

"Immy, ini Cassie. Kalau kau sempat, hubungi aku. Oke?" Aku meninggalkan pesan suara untuk kesekian kalinya dan berjalan pulang dengan lesu. Baru beberapa langkah, aku melihat Immy tengah berdiri di tengah trotoar, menatap tepat ke arahku.

"Hei," sapaku. "Aku pakai nomor baru untuk meneleponmu, kalau kau bertanya-tanya siapa nomor misterius itu."

"Ada apa?" tanyanya.

"Cuma mau ketemu. Kau sedang sibuk?"

"Lumayan." Immy memindahkan tumpuan tubuhnya dari kaki kanan ke kiri. "Kau mau mampir?"

Aku mengangguk ragu, mencoba memahami kenapa reaksi Immy begitu dingin. "Tentu."

Immy hanya mengangguk dan berjalan lebih cepat dariku. Kami tetap bungkam selama berada di lift, membuatku bertanya-tanya apakah aku melakukan kesalahan. Masa, sih, Immy masih kesal karena aku merajuk kemarin? Aku tidak berani bertanya.

Sesampainya di ruang apartemen Immy, dia segera menyeduh teh dan memberikannya padaku. Barulah setelahnya, gadis itu bersitatap denganku. "Lukisanku akan masuk pameran di Galeri Sutton."

Wajah Immy masih datar, tetapi aku menahan pekikan gembira. Kuletakkan teh hati-hati ke nakas dan memeluk Immy, menerjangnya hingga tubuh Immy terempas ke ranjang. Kuharap Immy tidak sesak napas gara-gara aku menimpanya. Immy tertawa keras dan balas memelukku.

"Aku kira kau marah padaku," rengekku. "Dasar kau!"

Dia justru tertawa semakin keras, seolah sudah menanti-nanti momen ini. Aku bangun dari posisiku dan menarik Immy ikut serta.

"Kau harus tahu seberapa besar usahaku menahan tawa," katanya sambil mengusap air mata. "Dan wajahmu, kau harus lihat wajah bodohmu itu!"

Kendati sedikit kesal, perasaan bahagia tetap mendominasi diriku tatkala melihat tawa lepas Immy.

"Itu hal yang luar biasa! Aku tidak percaya akhirnya lukisanmu akan masuk Galeri Sutton," ujarku. "Lukisan apa yang akan dipamerkan?"

"Percaya tidak kalau selama kau koma, aku melukis dan mengikutkannya ke seleksi? Kau tidak boleh lihat sekarang. Harus lihat di pameran."

"Oh, setidaknya beri aku sedikit petunjuk mengenai lukisanmu," aku membujuknya. "Ayolah, Immy."

"Pokoknya lihat sendiri." Dia mendorong wajahku menjauh. Kami tertawa lagi bersama. Dengan adanya pameran ini, Immy akan semakin dikenal dan itu berarti selangkah lebih dekat lagi baginya untuk menjadi pelukis terkenal. Kuharap aku seulet dirinya dalam mengejar impian.

"Lalu kapan pamerannya akan dimulai?"

"Minggu depan. Aku akan menyiapkan tiket untukmu. Sayangnya kita tidak bisa pergi bersama, aku harus sampai di sana lebih dulu. Kau tahulah." Dia mengedikkan kedua bahu. Aku paham, karena pasti ada hal-hal yang mungkin harus dia urus terlebih dahulu.

"Tidak masalah. Lagi pula lokasinya tidak terlalu jauh dari apartemenku. Omong-omong, lukisanmu dijual?"

"Tidak."

"Sudah kuduga," gumamku. "Kau sungguh tidak merasa rugi? Lukisan itu bisa saja memberimu beberapa ratus dollar."

Immy mengangkat salah satu alisnya, "Lalu?"

"Kupikir sayang sekali kalau kau tidak menjualnya."

"Untuk yang kali ini aku belum mau. Siapa tahu aku kembali mendapat kesempatan mengikuti pameran lagi. Orang-orang akan lebih semangat mengincar lukisanku."

Aku menghabiskan tehku, "Apa kau tidak merasa rugi?"

"Tidak, tuh. Orang-orang mau melihatnya saja aku sudah sangat senang. Aku tidak pernah menyangka akan sampai di sini. Kalau pamanku tidak pernah membawaku pergi, aku tidak mau tahu bagaimana keadaanku sekarang." Matanya memandang ke arah jendela, menerawang ke arah langit.

"Kau pasti sangat berterima kasih padanya," dugaku. "Pada pamanmu, maksudku."

Immy mengangguk. "Dia juga melewati banyak hal buruk, karena itulah dia bisa memahamiku lebih baik daripada orangtuaku sendiri." Dari nada bicaranya, seakan tak ada ruang lagi di hati Immy untuk kedua orang tuanya. Sebelum percakapan tersebut mengingatkannya pada masa lalu lebih jauh, Immy mengalihkan pembicaraan, "Mau memesan makanan? Untuk merayakan semua ini."

Cengiranku langsung terulas. "Aku menerima apa saja yang gratis dan enak."





IltasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang