♬ Tiga Puluh Sembilan ♬

1.3K 240 4
                                    

Anneth mengetuk pintu rumah Joa dengan mulut yang tertutup rapat. Di dalam hati ia terus berharap, agar Joa tidak akan menghindarinya.

Senyum manis milik Anneth pun langsung merekah ketika pintu yang diketuknya terbuka. Dan orang yang membukanya tak lain adalah Joa sendiri.

"Hai Jo!" sapa Anneth ramah, berusaha menghilangkan rasa canggung di hadapan Joa.

Bukannya membalas sapaan Anneth, Joa malah berdecak. "Ngapain kamu ke sini?" tanyanya ketus.

Anneth menghembuskan napas berat, memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Joa. Ia tahu jelas, Joa tidak menyukai kehadirannya saat ini.

"Aku ... mau ketemu Tante Oca," jawab Anneth ragu.

Berat. Anneth merasakan hal itu. Tapi tak ada pilihan lain, hanya Rosa-lah satu-satunya orang yang Anneth yakini bisa membantu kelompoknya. Meski Anneth harus datang ke rumah Joa seperti orang yang mengemis.

Sejak Joa dan Anneth bertengkar hari itu, keduanya memang tidak lagi berkomunikasi. Jangankan bermain di rumah Joa, bertemu di sekolah saja Anneth malas jika harus menyapa Joa terlebih dahulu.

Sebetulnya Anneth hanya ingin Joa sadar, bahwa dalam hal ini Joa-lah yang bersalah karena telah menuduh Anneth yang tidak-tidak. Tapi demi kelompok bernyanyi, Anneth rela harus membuang egonya itu jauh-jauh.

Joa lantas berkacak pinggang lalu berkata, "Tante Oca gak ada di sini. Emangnya kamu mau ngapain nyari Tante Oca?"

"A-aku ... aku mau minta tolong sama Tante Oca buat bantuin aku sama temen-temen," Ada jeda sebentar sebelum Anneth menghembuskan napasnya secara kasar, dan kembali bicara, "latihan buat pensi nanti."

Mendengar penjelasan itu, rasanya hati Joa telah dihantam sesuatu. Tanpa berkata apapun, Joa mundur beberapa langkah. Tangannya lalu bergerak hendak menutup pintu.

"Eh, Joa tunggu!" Cepat-cepat Anneth menahan pintu agar tak ditutup. "aku mau ngajak kamu buat ikut nyanyi di kelompok aku. Kamu mau kan?"

"Aku gak tertarik," jawab Joa singkat.

"Jangan bohong, Jo!"

Kini Anneth memandangi Joa lekat-lekat. "Bukannya dari awal itu kamu yang excited buat ikut acara ini? Kamu bahkan terus maksa-maksa aku buat duet sama kamu. Tapi sekarang, kamu malah nyerah cuma gara-gara kita berantem?"

Tak ada respon. Joa masih terdiam membalas tatapan Anneth.

"Please, Jo! Jangan kayak bocah! Aku tau, kamu pengen nyanyi di panggung pensi itu kan?"

"...."

"Mau ya?"

"...."

Kesal dengan diamnya Joa, Anneth sontak saja memeluk erat tubuh sahabatnya itu. "Aku minta maaf, untuk semuanya," Anneth berujar lirih.

Masih ada gengsi yang tertanam di hati Joa. Namun sepersekian detik, pelukan Anneth semakin erat, hingga entah kenapa Joa tiba-tiba berkata, "Aku juga minta maaf."

Anneth tentu saja tersenyum lebar, saat merasakan kedua tangan Joa membalas pelukannya. Gadis itu sangat senang karena sahabatnya telah kembali.

"Aku mau, Neth. Tapi please, jangan bilang sama orang tua aku kalo kita pernah marahan."

Pelukan mereka akhirnya terlepas. Anneth tertawa cekikikan, syarat yang diberikan Joa terdengar lucu di telinganya. Meski begitu, ia tetap mengangguk menyetujui.

"Bagus! Nanti aku yang bilang sama Tante Oca, buat ngelatih kita." Joa ikut tersenyum riang.

Menurut Anneth dan Joa, jauh lebih keren ketika sepasang sahabat berhasil melalui pertengkaran hebat, daripada tak terlihat bertengkar tapi berusaha untuk saling menyakiti.

🎶

Bersambung ....

(14/02/2019)

Mimpi BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang