EMPAT

6.7K 287 6
                                    


Terlambat, saat kenyataan tak mampu dihapus dengan kesalahan yang berduka.

Pagi ini aku sangat dikejutkan dengan keadaan Radka, suhu badannya sangat panas. Aku segera membawa Radka ke rumah sakit dan kenyataan yang harus aku terima Radka harus diopname. Tingkat kemanjaan Radka bertambah berkali-kali lipat, dia tidak mau di asuh oleh nanny nya. Dia tetap mau selalu ada aku disampingnya. Hal ini tentu saja membuatku harus meninggalkan kuliahku beberapa hari ini.

Aku benar-benar pusing dihadapkan dengan situasi seperti ini, situasi dimana aku belum siap sepenuhnya menjadi seorang ibu sambung untuk Radka. Permasalahanku saja belum bisa aku atasi. Kini datang lagi permasalahan dari bocah kecil ini.

"Nanny, saya ke ruangan dokter sebentar. Tolong jaga Radka. Kalau dia bangun bilang saya ke ruangan dokter sebentar."

***

Aku membuka pintu ruangan dokter ini. Seorang dokter yang sudah tampak berusia sekitar 40 tahunan itu menyambut kedatanganku,

"Silahkan duduk Bu. Anda orang tua Radka?" tanyanya dan ku balas anggukan.

"Begini, dari hasil pemeriksaan kami beberapa hari yang lalu, kami menemukan bahwa Radka menderita kanker leukimia,"

"Apa????" tanyaku tak percaya. "Bagaimana mungkin dok?"

"Banyak faktor Bu. Bisa dari lingkungan, makanan, radiasi, atau kelainan kromosom gen,"

"Dok...pasti hasil pemeriksaannya tertukar dok?"

"Tidak Bu, saya bisa pastikan ini hasil pengecekan putra Ibu, Radka"

"Dokter, lalu kita harus melakukan apa Dok?" Aku mulai terisak.

***

Aku memang mengabaikannya dan tak pernah semenitpun meluangkan waktu memikirkannya. Tapi aku tidak sekejam itu, hatiku rapuh. Bagaimanapun juga dia orang yang menganggapku benar-benar ibunya dan saat mengetahui kondisi terburuknya saat ini, hati siapa yang tak akan rapuh dan hancur. Anakku yang selalu tegar kini terkapar dengan diagnosa penyakit yang tak pernah aku pikirkan.

Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Dokter menyarankan agar Radka segera menjalankan pengobatan agar persentase kesembuhannyapun semakin cepat. Ya Tuhan, tapi bagaimana aku siap dengan situasi seperti sekarang?!

(Telfon dengan Kak Arvino)

"Aeera, bisa kita bicara dua jam lagi? Saya akan segera memimpin meeting,"

"Kaak...." Suara isak tangis bergetarku mulai keluar.

"Hei, ada apa?"

"Radka kak...."

"Kenapa Radka?"

"Kak..." Aku masih bergetar, aku benar-benar tidak bisa menyampaikannya seperti ini.

"Kak, aku mohon pulanglah ke Indonesia. Aku gak tau kak harus berbuat seperti apa..." Kemudian tangisku pecah begitu saja.

Beberapa saat kak Arvino hanya diam diujung sana mendengarkan tangisanku, hingga kemudian aku berusaha mengatur nafasku,

"Kamu di mana? Apakah di sana ada sopir atau siapapun yang bekerja pada kita?"

"Aku di rumah sakit kak, Radka 4 hari yang lalu masuk rumah sakit,"

"Astaga. Kamu kenapa gak bilang?! Saya sudah bilang kabari saya terus!"

Aku mendnegar amarah kak arvino dari seberang telfon.

Home Without LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang