EMPAT PULUH

4.4K 159 8
                                    


Ada ikatan pada pagi,

Pertemuan saat siang,

Dan kenangan bersama malam

Saat ini, aku, kak Rena, kak Gita dan Mama tengah disibukan dengan beberapa pakaian hasil belanja tadi.

"Ma, yang ini bagus ya?" tanya kak Rena pada mama.

"Iya Ren. Ini cocok banget kamu gunakan,"

"Aku lebih suka yang ini ini," ujar kak Gita menunjukkan pakaian berwarna kuning pilihannya.

"Kamu yang mana, Nak?" tanya mama padaku.

"Kak Arvino mana, Ma?"

"Arvino?" tanya mereka bersamaan.

"Lu nyari pak bos?" Sahut kak Gita senyum.

"Bukan itu. Maksud aku diakan udah janji beliin souvernir kenapa dia gak pulang-pulang?"

"O, souvernirnya sudah ada. Tadi siang dia beliin. Kalau kamu mau lihat souvenirnya itu ada di bawah. Lucu banget,"

"Loh, dia udah beli? Terus tadi pagi buat apa dia ngajak aku?"

"Kamukan gak mau nemenin dia. Jadi, tadi Mama yang pergi sama Arvino. Terus dia lanjut meeting,"

"O, berarti dia masih meeting sama papa?"

"Gak tau kalau sekrang, apa masih meeting atau ketemu Nesya. Soalnya papa tadi udah pulang dari kantor dan sekarang pergi main golf,"

"O," tuturku jadi lemes.

Ya, apa yang salah? Nesya kan tunangannya Aeera?! Gue yang salah mikirin tunangan orang!!!

***

Aku, Mama, kak Rena dan kak Gita memutuskan pergi bermalam minggu untuk makan di sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah.

"Jangan cemberut terus. Ikhlasin!" tutur kak Rena.

"Iya, ikhlas Kok!"

"Syukurlah!" tutur kak Rena.

Sejenak kebersamaan dengan mama dan dua orang sahabat ini mampu membuatku lupa akan duka. Tapi aku sangat takut malam. Karena saat semua mata terpejam, sahabat ini seakan hilang dan sepi serta kenangan seakan menjelma menjadi sahabat yang membuat hati nan luka kian terluka, mata terpejam saja mampu melelehkan air mata lewat sendu di bawah temarang lampu seperti kilatan cahaya kehancuran, sebuah kenangan menyesakkan dada.
Aku tak ingin sepi, ingin terus berkawan. Aku takut terbangun di malam hari, takut angin malam menyapa sendu yang telah robek dalam hati yang perih. Jangankan untuk membayangkan, mengingat semua pernah terlewati saja rasanya begitu sesak.

Seperti malam ini. Di setiap malam rasanya tidur nyenyakku telah terenggut oleh sebuah realisasi rasa yang tak tersampaikan hingga begitu pedih mengeroyok dan alam bawah sadarku.

Aku ke dapur dan mengambil segelas air.

"Kamu belum tidur?" tanyanya tiba-tiba muncul.

"Daddy?" tanyaku menatapnya.

"Iya, aku baru pulang," ujarnya menatapku.

Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan Pukul 01.00 WIB.

"Maaf aku pulang sangat larut. Ada beberapa masalah di,"

"Perusahaan Cabang Surabaya?" tanyaku memotong ucapannya.

"Ya, kamu benar. Ada penggelapan dana yang sangat serius. Nyaris gulung tikar," ujarnya melepas dasi dan jasnya.

"Sudah makan?" tanyaku.

Home Without LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang