TIGA TUJUH

3.9K 160 0
                                    


Akhir akan menjelaskan pada awal bahwa dia keliru,

menyudahi ingin yang tak pernah dimulai

Aku menatap kak Arvino yang tertidur lelap dengan infus ditangannya. Aku benar-benar tidak tega melihat dia saat ini. Nyatanya dia benar-benar rapuh.

"Mom," ujarnya membuka mata dan menatapku.

Aku langsung memeluknya hangat dan menangis dalam pelukannya.
Sesaat kami sama-sama terdiam dan dia membiarkanku menangis dalam pelukannya.

"Permisi Bu, saya mau cek keadaan Bapak," ujar dokter yang tiba-tiba muncul.
Kami langsung melepaskan pelukan dan aku memberikan ruang pada dokter untuk memeriksa kak Arvino.

"Bu, sebaiknya Bapak di opname,"

"Gak Dok. Saya harus pulang. Saya kuat," ujar kak Arvino.

"Tapi Pak, kondisi Bapak sangat lemah saat ini dan Bapak butuh banyak istirahat,"

"Saya bisa istirahat di rumah Dok. Dok, saya mohon mengertilah... saya dan istri saya baru saja kehilangan anak kami dan lihat kondisi istri saya masih lemah seperti itu. Dia masih butuh saya di sampingnya. Saya mohon, Dok...."

"Pak, saya turut berduka cita. Saya sangat mengerti keadaan kalian saat ini. Tapi Pak, pihak Rumah Sakit nantinya tidak bisa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Bapak karena saya sudah menyarankan Bapak untuk di rawat demi kesehatan Bapak,"

"Iya Dok saya mengerti. Saya mohon izinkan saya pulang,"

"Baiklah kalau begitu. Bu, tolong urus administrasi dulu ya. Saya juga akan memberikan resep obat dan vitamin untuk Bapak dan Ibu. Terimakasih,"

"Terimakasih Dok," ujar kak Arvino.

Aku mengikuti dokter itu keluar. Kemudian aku mengurus administrasinya dan mengambil obat, lalu menuju parkiran.

"Pak, tolong jemput kak Arvino di IGD ya," ujarku duduk di jok belakang.

Selang beberapa saat kak Arvino datang bersama pak Rahmat.

"Pak, tolong bukakan pintu di depan saja. Kak Arvino akan duduk di jok depan!" ujarku dari balik kaca mobil.

Kak Arvino kemudian menatapku dan ku balas dengan menutup kaca jendela. Kak Arvino masuk ke mobil dan duduk di jok depan. Aku hanya diam sepanjang perjalanan.

***

Saat sampai di Apartemen aku turun terlebih dahulu dan langsung berlari masuk ke dalam Apartemen dan mengunci diri di kamar Radka. Aku menangis! Rasanya aku begitu benci melihat kak Arvino yang tidak mau di rawat. Dia butuh istirahat tapi dia mengabaikan itu semua. Aku benar-benar gak mau dia sakit. Dia bilang akan berjuang melihat kebahagiaan aku, tapi justru dia tidak sanggup menjaga kesehatannya. Jika terjadi sesuatu padanya, aku bagaimana?

Satu jam kemudian aku keluar dari kamar kemudian meminta mbok mengantarkan obat yang sudah ku haluskan ke kamar kak Arvino dan aku kembali ke kamar Radka.

***

Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal karena aku ingin segera ke kantor.
Namun, aku begitu kaget melihat kak Arvino dengan selimutnya duduk di sofa ruang Tv yang terletak di depan kamar Radka.

"Apa ini, Kak?" tanyaku menatapnya yang duduk menatapku dalam diam.

"Home Without Love?" tanyanya.

Aku hanya menatapnya dalam diam,

"Apa yang membuat kamu bertahan di sini?" tanyanya menatapku.

"Entahlah. Aku juga gak tau...."

Home Without LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang